Postingan

Terpaling Ngegas Ikhtiarnya: 2024

Melihat postingan terakhir di blog ini, saya melongo melihat tahun publikasinya. Ternyata sudah lebih dari setahun lalu. Wow! Dengan demikian, blog ini tak lebih dari sekadar catatan digital saja pada akhirnya, yang nampaknya akan selalu menjadi tujuan terakhir bagi pikiran-pikiran keruh bermuara. Sesak sekali ternyata melewati hari dengan jarang menulis (yang mengandung curhat). Maka, ini lah waktunya. Meski masih di pertengahan tahun, nampaknya 2024 akan mejadi tahun paling ngegas ikhtiarnya. Ikhtiar dalam banyak hal. Pertama, masih soal berat badan. Segala macam susu dan penambah nafsu makan, dari yang bentuknya kapsul sampai minuman yang ledrek-ledrek semacam sereal masih terus dicoba. Yang rasanya... sepertinya sudah cukup! Sebab mulai eneg dan malah bikin nggak semangat. Sekarang nemuin susu yang cocok di lidah dan di perut, semoga juga ngefek ke badan, ya. Capek sekali liat timbangan yang nggak nunjukkin perkembangan signifikan. Frustasi. Kesungguhan buat naikin BB pasang-surut

Tulisan Ini Random, Seperti yang Ada Dalam Kepala Saya. Ayo Ngobrol!

Terlalu banyak hal yang meriuhkan kepala akhir-akhir ini. Bingung menguraikannya, sehingga hanya sekadar menulis kepsyen pun sekarang merasa kesulitan. Memaksa rentetan kalimat itu keluar justru membuatnya terasa tak bernyawa. Padahal untuk mengembalikan kedalaman tulisan seperti sedia kala hanya satu kunciya: baca. Mungkin setelah ini, saya butuh jalan-jalan ke toko buku. Meski sehari-hari saya telah sering 'menghidupi diri sendiri', tapi jiwa yang kembali setelah jalan-jalan sendiri beda rasanya. Selalu lebih lega. Literally jalan-jalan sendiri! Terlalu memikirkan apa yang belum bisa saya kerjakan, padahal belakangan, Allah kasih kesempatan-kesempatan yang saya kira cuma bisa mengendap jadi keinginan. Sesederhana pinta, "Ya Allah, saya pengen ketemu Bu ini ( guru matematika SMP saya ).", dan kemudian, Allah hadirkan beliau di hadapan saya saat itu juga. Telah memulai banyak hal yang pada tahun-tahun sebelumnya hanya wacana; bikin konten di instagram tanpa peduli yan

Jejak Digital Akhir Semester

Gambar
Sudah satu semester saya menjadi apa yang saya bayangkan tiap malam lima tahun lalu. Menjadi guru matematika di pondok pesantren. Tidak sadar bahwa saya dulu membayangkan sedetail itu. Dan tidak menyangka juga, Allah wujudkan sepresisi ini. Maka , nikmat Allah mana lagi yang akan saya dustakan? (Catatan: Terima kasih pada Pak Kamto, guru Biologi SMA saya, yang telah mengajarkan ilmu visualisasi. Percayalah Pak, saya mengamalkan apa yang Bapak sampaikan setiap malam – memvisualisasikan peran masa depan saya – yang mungkin banyak dianggap bualan bagi teman-teman yang lain karena terlalu seringnya Bapak bercerita daripada menjelaskan materi. Tapi bagi saya, setiap apa yang Bapak ceritakan lebih berharga dari materi yang tertuang pada buku-buku tebal itu. Melalui Bapak saya mendapatkan sudut pandang baru.) Sebelum santri saya harus pulang karena penyebaran virus korona yang semakin masif, telah sempat saya lewati hari-hari bahagia bersama mereka. Berbisik pada diri sendiri berulang k

[ Ngoceh ] : Bagian 2 - Membela Orang-Orang Slow Respon

Gambar
BACA OCEHAN SEBELUMNYA DI SINI Setelah sekian lama menunggu, setelah hampir saja saya melupakan akun jahiliyah saya, ada email masuk dari facebook. Dengan penuh semangat saya buka. Dan beginilah jawaban mereka kira-kira. SELAMAT! Akun anda kami BLOKIR! Alasan dibalik pemblokiran ini karena anda termasuk orang-orang yang telah memalsukan identitas. Sudah kami ingatkan. Cukup alamat saja yang palsu. Namamu jangan~ YA IYALAH! GOBLOK LU RIN! Sudah jelas-jelas di bagian term and condition yang saya centang ASAL saat mendaftar, harus menggunakan nama asli. Semacam diam-diam ngambil jatah makan siang sodara, tapi makannya di depan mukanya. Terlepas dari kegoblokan saya itu, saya justru bersyukur. Jejak kealayan saya di FB jadi musnah. Karena saya cukup tahu, meskipun akun jahiliyah tersebut dapat diselamatkan dengan mengganti nama yang normal pun, saya pasti akan dibayang-bayangi kenistaan masa lalu. Jejak-jejak saya masih terekam. Saya pasti akan eman-eman untuk menghapu

[ Ngoceh ] : Bagian 1 - Dari Akun Jahiliyah Sampai Detoksifikasi Sosmed

Gambar
Sedikit curhat. Sudah setahun – lebih bahkan – sejak saya bilang ke orang lain bahwa saya ingin mengurangi interaksi dengan sosmed. Pada teman saya waktu itu, saat kuliah basa inggris di mana masing-masing kami harus men- dobleh -kan apapun tentang diri sendiri. Teman saya mengerutkan kening. Meski kalimat ‘pengen lebih hidup di dunia nyata’ telah saya sertai dengan ‘ya memang keduanya perlu, tapi sosialisasi secara langsung kan lebih penting’. Dari situ saya sadar, bahwa memang, beberapa orang sudah sedemikian lekat dengan sosmed. Berpikiran untuk meninggalkannya untuk jangka waktu tertentu merupakan sebuah ide aneh. Namun, hal itu sebenarnya wajar. Mengingat segala macam koordinasi – baik itu tugas, event , atau bahkan kerjaan – saat ini lebih dominan dilakukan melalui instant messenger . Merunut beberapa tahun ke belakang, saya termasuk orang yang aktif di sosmed sebenarnya. Zaman SMP, saya masih ingat, pernah mendaftarkan diri di segala macam platform . Kalau ada tombol s

[ Ngopini ] : Sertifikasi Nikah... Syarat Wajib, Syarat Sah, atau Sunah?

Gambar
Obrolan pagi ini diawali dengan julid-an Mamak soal anak tetangga yang baru saja masuk kuliah a.k.a. maba, tapi justru mau melangsungkan prosesi lamaran. Apakah memang sudah menjadi naluri mamak-mamak nggak bisa untuk tidak berkomentar soal kehidupan orang luar? "Lha neg wis ngono kuwi lak yo rasah kuliah wae to?" ungkap Mamak berapi-api. Jika sudah begitu saya dan Bapak hanya mendengarkan, sesekali tanya kalau kepo. Atau menanggapi untuk sekadar ' nglegani '. Kadang kalau julid-nya kelewatan saya atau bapak menegur: "Tiati lho, Mak weki ra ngono kui...." "Hayo suudzan... suudzan...," yang sering saya katakan sambil nunjuk-nunjuk Mamak setengah tertawa. "Ngko awakdewe yo marai diomongke uwong lho, Mak...." Lalu mamak sambil mecucu pun mutung, "Yowis! Rasido cerita!" Dan segala tanggapan-tanggapan lain yang menunjukkan seakan-akan Mamak adalah orang paling berat dalam menanggung dosa ghibah. Seakan l

[ Ngoceh ] : Tentang Dendam, Orang yang Tersakiti, dan Bias Konfirmasi

Gambar
Ini adalah sebuah random talk tentang: Dendam. Entah kenapa sekarang saya jadi tidak bisa woles dengan tingkah/perilaku seseorang setelah sebelumnya, saya adalah orang yang cinta damai. Selow. Biasa aja. Kayak Pak Jokowi. Bahkan sangat berbakat untuk bersikap ‘seakan tak terjadi apa-apa’ kepada yang menyakiti. Namun akhir-akhir ini, saya sedikit putus asa dengan human being s . Gampang down karena perlakuan/komentar orang, bahkan kadang, sekalipun itu tidak ditujukan pada saya . Overthinking! Segala perlakuan orang lain terhadap saya di masa lalu seakan ter- recall tanpa komando akibat terstimulus oleh beberapa hal yang saya rasa dan saksikan belakangan. Benci pada orang-orang yang tidak bisa memahami orang lain, tidak bisa selow, terlalu membesar-besarkan keburukan suatu hal, bersikap seolah-olah dia tak pernah melakukan kealpaan sama sekali, atau tidak akan pernah melakukan kebodohan serupa di masa depan, atau – lagi – tidak akan melakukan hal teledor – dengan kata lain