[ Ngoceh ] : Tentang Dendam, Orang yang Tersakiti, dan Bias Konfirmasi


Ini adalah sebuah random talk tentang:
Dendam.
Entah kenapa sekarang saya jadi tidak bisa woles dengan tingkah/perilaku seseorang setelah sebelumnya, saya adalah orang yang cinta damai. Selow. Biasa aja. Kayak Pak Jokowi. Bahkan sangat berbakat untuk bersikap ‘seakan tak terjadi apa-apa’ kepada yang menyakiti. Namun akhir-akhir ini, saya sedikit putus asa dengan human beings. Gampang down karena perlakuan/komentar orang, bahkan kadang, sekalipun itu tidak ditujukan pada saya. Overthinking! Segala perlakuan orang lain terhadap saya di masa lalu seakan ter-recall tanpa komando akibat terstimulus oleh beberapa hal yang saya rasa dan saksikan belakangan. Benci pada orang-orang yang tidak bisa memahami orang lain, tidak bisa selow, terlalu membesar-besarkan keburukan suatu hal, bersikap seolah-olah dia tak pernah melakukan kealpaan sama sekali, atau tidak akan pernah melakukan kebodohan serupa di masa depan, atau – lagi – tidak akan melakukan hal teledor dengan kata lain merasa akan memiliki daya dan kekuatan untuk menghadapi persoalan tersebut, tidak seperti orang yang di-nyinyiri-nya. Duh, apa sih, nggak evektif amat kalimatnya, mon maap. Padahal dengan saya merasa demikian, menunjukkan bahwa SAYA NGGAK MEMAHAMI ORANG ITUalias ‘orang-orang tidak woles’ tersebut. Sepertinya saya juga pernah menyinggung soal ini di postingan sebelumnya. Memang… julidin manusya nggak akan ada habisnya.
Ah… saya jadi ingat drama percintaan teman kelas saya dulu ketika SMA. Saat si cewek menangis dan ngambek kepada si cowok sambil bilang, “Kamu tu nggak ngertiin aku!”
Lalu si cowok dengan pelan sambil menatap si cewek dengan serius dan suara bergetar menjawab, “Kamu tahu nggak? Dengan kamu bilang bahwa ‘aku nggak ngertiin kamu’ sama artinya ‘kamu nggak ngertiin aku’.”
Sungguh-sungguh terjadi. Tanpa rekayasa. Hm, semoga Allah mengampuni sepasang telinga yang diam-diam nguping ini.

“Gaya lu, Rin! Sok bener! Kaya lu nggak pernah dibuat kesel sama orang aja!”
Pernah, dong. Lha buktinya saya cerita ini – yang tidak lain hanyalah kamuflase dari sebuah kekesalan. Paragraf awal sudah saya simpulkan juga bahwa, “Ketika saya bilang bahwa orang lain nggak memahami saya, sama artinya bahwa saya nggak memahami orang lain tersebut.” Lho lho lho… belibet amat.
Yah… paling tidak, kita bisa membedakan mana yang bisa dimaklumi dan mana yang ‘maklum dikesali’.
“Mungkin, kowe lagi sensi,” kata seorang teman menanggapi salah satu cerita saya – yang tak jauh-jauh dari tema human beings.
Hoo kali, ya,” jawab saya berusaha setuju agar emosi saya tidak menjalar ke mana-mana.
Tentu saya harus cepat-cepat menepis seluruh hasil ‘recall-an’ penyakit atau pun prasangka-prasangka beracun tersebut karena lama-lama pikiran saya bisa digerogoti hingga melahirkan sebuah dendam yang bersemayam dalam hati.
Soal ingatan-ingatan yang menyakitkan hingga kadang mengaduk emosi saya kapan saja itu, membuat saya ingat sebuah percakapan duo iconic Majelis Lucu Indonesia di kanal youtube-nya  – Coki Pardede dan Tretan Muslim. Belio-belio mengomentari sebuah kalimat dalam meme yang lagi ngeboom setelah rilisnya film JOKER: “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.”
“Orang jahat ya orang jahat… kalau orang baik tersakiti dia tidak jadi jahat. Dia memaafkan,” ungkap Bang Coki berusaha mengurai.
“Bisa jadi pembenaran ini… ‘kenapa kamu jahat?’, ‘aku ditolak cewek’. Kamu ditolak cewek kenapa membegal orang!? Itu karena murni ada setan dalam diri anda! Kita tidak setuju!” Bang Muslim ikut menanggapi.
Beberapa kali – sering bahkan – saya melihat kalimat tersebut berlalu-lalang di sosmed entah status atau pun feed. Sepertinya memang kalimat tersebut sudah membumi sejak lama. Saya ingat, beberapa kenalan/teman merepost dan mengamini. Sedangkan untuk saya pribadi, kurang sreg jujur.
Begini.
Seringkali, kita justru menggunakan sebuah teori yang dapat membenarkan apa yang kita yakini – misalnya dalam hal ini memaklumkan jahat ke orang. Kita cenderung setuju pada sesuatu yang sesuai dengan kondisi kita, TERUTAMA harapan kita. Cenderung menggunakan bukti-bukti yang dapat mendukung apa yang kita percaya dan menyangkal yang sebaliknya. Tidak peduli apakah itu benar atau salah.  Ya, itu lah yang disebut ‘bias konfirmasi’, seperti yang disebutkan oleh Pak Abdul Hamid dalam sebuah tulisan di blog beliau. Beliau menggambarkan bias konfirmasi seperti ini:
“Penjelasan paling sederhana adalah karena berlimpahnya informasi. Internet menjadi outlet bagi berbagai informasi yang murah dan mudah. Sederhananya kalau anda deg-degan terus menerus, tentu saja paling mudah dan murah adalah bertanya ke dr. google yang akan memberi anda jutaan entry jawaban. Apakah jawabannya adalah deg-degan karena jatuh cinta, kebanyakan minum kopi, sakit jantung, atau masuk angin, semua tersedia. Anda memilih mana yang paling masuk akal, dan bisa jadi juga paling sesuai dengan harapan anda. Tentu anda menyukai jawaban bahwa anda deg-degan karena jatuh cinta daripada gejala awal sakit jantung bukan?” – Abdul Hamid, dalam sebuah tulisan berjudul “Kenapa Netizen Menerima dan Menyangkal Informasi?”)
Mungkin itu juga yang membuat kebanyakan orang dengan gampang nge-share berita hoax, betapapun orang tersebut adalah seorang yang berpendidikan dan disegani. Karena bias konfirmasi bisa menjangkit siapapun… waspadahal!

Apakah tulisan saya tidak nyambung?
Hmmm, mungkin memang saya yang terlalu maksa. Tapi biarlah pembaca yang budiman yang merunut benang merahnya.
Untuk menutup tulisan ini, agaknya saya perlu mengutip pesan yang disampaikan Bang Panji Pragiwaksono – yang beliau sampaikan dalam sebuah stand-up comedi. Beliau mengunggah performance-nya tersebut di kanal Youtube pribadi beliau dengan judul “Kebenaran yangMelahirkan Dendam”.
“Hanya karena kita benar bukan berarti kita berhak ngomong/melakukan apapun kepada yang salah. Karena itu melahirkan dendam.” – Panji Pragiwaksono
Dan tentu, itu juga berlaku untuk permasalahan saya di awal tulisan ini.

Sejenak kemudian saya tersadar. Dengan saya menyampaikan ini… apakah itu berarti bahwa saya termasuk orang-orang yang tidak woles?
Ah entahlah… pusing!

Kamar penuh ratap, 7 November 2019

Dituntaskan di
Krapyak, 8 November 2019
Pukul 22.40 WIB
Dalam keadaan nggembel di rumah teman #monmaap #naikkasta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER