Jejak Digital Akhir Semester
(Catatan: Terima kasih pada Pak Kamto, guru Biologi SMA saya, yang telah
mengajarkan ilmu visualisasi. Percayalah Pak, saya mengamalkan apa yang Bapak
sampaikan setiap malam – memvisualisasikan peran masa depan saya – yang mungkin
banyak dianggap bualan bagi teman-teman yang lain karena terlalu seringnya
Bapak bercerita daripada menjelaskan materi. Tapi bagi saya, setiap apa yang
Bapak ceritakan lebih berharga dari materi yang tertuang pada buku-buku tebal itu.
Melalui Bapak saya mendapatkan sudut pandang baru.)
Sebelum
santri saya harus pulang karena penyebaran virus korona yang semakin masif, telah
sempat saya lewati hari-hari bahagia bersama mereka. Berbisik pada diri sendiri
berulang kali bahwa, inilah bahagia yang saya cari. Dibuat penuh kesyukuran
setiap hari, membuat saya lupa segala pernak-pernik masalah yang mengiringi
(semua itu tentu tak sebanding dengan nikmat bahagia yang saya rasa).
Sayangnya
semua itu hanya berlangsung sebulan. Setelahnya, kembali saya harus
menyaksikan realita kondisi generasi negeri ini, dan juga segala sistem yang
melingkupinya. Pembelajaran daring melucuti aib pendidikan kita. Tidak perlu lah
saya bercerita. Nanti segala kesedihan-kesedihan di masa pembelajaran daring
yang sudah berusaha saya redam kembali membuncah berantakan. Saya harus membayangkan
kebaikan-kebaikan murid saya, betapa pintar dan menyenangkannya mereka. Agar saya
tetap tabah meniti jalan juang. Karena sedikit saja saya teringat realita-realita
pahit dunia pendidikan, keinginan untuk melarikan diri di jalur lain itu masih bisa
bangkit sewaktu-waktu. Ujung-ujungnya, saya jadi tidak bersyukur nanti.
Seperti
yang saya rasakan malam ini. Entah berasal dari mana sedih ini datangnya. Apa iya
saya masih dilema dengan apa yang saya peroleh sekarang padahal banyak diantara
teman-teman saya masih berjuang mati-matian demi mendapatkannya?
Stabilitas
finansial.
Semua
tercukupi sejauh ini. Alhamdulillah. Meski itu berarti, saya harus sangat
berhati-hati agar tidak melakukan transaksi yang hanya sekadar ingin. Maka,
kerap kali saya menjadi marah tak jelas saat anggota keluarga lain tidak supportif
dalam hal pengeluaran. Memang, kerap kali ujian selalu datang dari sisi yang
tidak bisa kita kontrol. Yang jelas, saya telah membuktikan bahwa ternyata, cukup
tak perlu banyak.
Soal
kesedihan saya malam ini, mungkin merupakan efek jauh dari teman-teman dekat. Tidak
leluasa bercerita. Sebagai ekstrovertnya instrovert, saya butuh bertemu mereka secara langsung, tentu. Berinteraksi di sosial media hanya akan menimbulkan ekspektasi dan kekecewaan baru jika
tanggapan tak sesuai keinginan. Tidak perlu diperbandingkan bagaimana
efektivitas interaksi antara keduanya. Jelas beda.
Jadi… terima kasih Blogger, telah menjadi tempat terbaik sejauh ini. Telah menjadi ruang pribadi tempat saya menuliskan apapun dilema yang saya rasa. Tidak perlu gelisah dengan komentar, atensi, apalagi traffic. Sudah dipastikan tidak ada yang membaca sampai sini kalau saya tidak membagikannya di sosmed. Kecuali yang memang perhatian pada saya. WQWQ
Hm! NGAREP, YA?!!
Ruang
tengah, 20 Desember 2020 20:14
Ansito
Rini
Komentar
Posting Komentar