Jejak Digital Akhir Semester


Sudah satu semester saya menjadi apa yang saya bayangkan tiap malam lima tahun lalu. Menjadi guru matematika di pondok pesantren. Tidak sadar bahwa saya dulu membayangkan sedetail itu. Dan tidak menyangka juga, Allah wujudkan sepresisi ini. Maka, nikmat Allah mana lagi yang akan saya dustakan?

(Catatan: Terima kasih pada Pak Kamto, guru Biologi SMA saya, yang telah mengajarkan ilmu visualisasi. Percayalah Pak, saya mengamalkan apa yang Bapak sampaikan setiap malam – memvisualisasikan peran masa depan saya – yang mungkin banyak dianggap bualan bagi teman-teman yang lain karena terlalu seringnya Bapak bercerita daripada menjelaskan materi. Tapi bagi saya, setiap apa yang Bapak ceritakan lebih berharga dari materi yang tertuang pada buku-buku tebal itu. Melalui Bapak saya mendapatkan sudut pandang baru.)

Sebelum santri saya harus pulang karena penyebaran virus korona yang semakin masif, telah sempat saya lewati hari-hari bahagia bersama mereka. Berbisik pada diri sendiri berulang kali bahwa, inilah bahagia yang saya cari. Dibuat penuh kesyukuran setiap hari, membuat saya lupa segala pernak-pernik masalah yang mengiringi (semua itu tentu tak sebanding dengan nikmat bahagia yang saya rasa).

Sayangnya semua itu hanya berlangsung sebulan. Setelahnya, kembali saya harus menyaksikan realita kondisi generasi negeri ini, dan juga segala sistem yang melingkupinya. Pembelajaran daring melucuti aib pendidikan kita. Tidak perlu lah saya bercerita. Nanti segala kesedihan-kesedihan di masa pembelajaran daring yang sudah berusaha saya redam kembali membuncah berantakan. Saya harus membayangkan kebaikan-kebaikan murid saya, betapa pintar dan menyenangkannya mereka. Agar saya tetap tabah meniti jalan juang. Karena sedikit saja saya teringat realita-realita pahit dunia pendidikan, keinginan untuk melarikan diri di jalur lain itu masih bisa bangkit sewaktu-waktu. Ujung-ujungnya, saya jadi tidak bersyukur nanti.

Seperti yang saya rasakan malam ini. Entah berasal dari mana sedih ini datangnya. Apa iya saya masih dilema dengan apa yang saya peroleh sekarang padahal banyak diantara teman-teman saya masih berjuang mati-matian demi mendapatkannya?

Stabilitas finansial.

Semua tercukupi sejauh ini. Alhamdulillah. Meski itu berarti, saya harus sangat berhati-hati agar tidak melakukan transaksi yang hanya sekadar ingin. Maka, kerap kali saya menjadi marah tak jelas saat anggota keluarga lain tidak supportif dalam hal pengeluaran. Memang, kerap kali ujian selalu datang dari sisi yang tidak bisa kita kontrol. Yang jelas, saya telah membuktikan bahwa ternyata, cukup tak perlu banyak.

Soal kesedihan saya malam ini, mungkin merupakan efek jauh dari teman-teman dekat. Tidak leluasa bercerita. Sebagai ekstrovertnya instrovert, saya butuh bertemu mereka secara langsung, tentu. Berinteraksi di sosial media hanya akan menimbulkan ekspektasi dan kekecewaan baru jika tanggapan tak sesuai keinginan. Tidak perlu diperbandingkan bagaimana efektivitas interaksi antara keduanya. Jelas beda.

Jadi… terima kasih Blogger, telah menjadi tempat terbaik sejauh ini. Telah menjadi ruang pribadi tempat saya menuliskan apapun dilema yang saya rasa. Tidak perlu gelisah dengan komentar, atensi, apalagi traffic. Sudah dipastikan tidak ada yang membaca sampai sini kalau saya tidak membagikannya di sosmed. Kecuali yang memang perhatian pada saya. WQWQ

Hm! NGAREP, YA?!! 

 

Ruang tengah, 20 Desember 2020 20:14

Ansito Rini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER

Nggak Penting~