[ Ngopini ] : Sertifikasi Nikah... Syarat Wajib, Syarat Sah, atau Sunah?

Obrolan pagi ini diawali dengan julid-an Mamak soal anak tetangga yang baru saja masuk kuliah a.k.a. maba, tapi justru mau melangsungkan prosesi lamaran. Apakah memang sudah menjadi naluri mamak-mamak nggak bisa untuk tidak berkomentar soal kehidupan orang luar?
"Lha neg wis ngono kuwi lak yo rasah kuliah wae to?" ungkap Mamak berapi-api.
Jika sudah begitu saya dan Bapak hanya mendengarkan, sesekali tanya kalau kepo. Atau menanggapi untuk sekadar 'nglegani'. Kadang kalau julid-nya kelewatan saya atau bapak menegur:
"Tiati lho, Mak weki ra ngono kui...."
"Hayo suudzan... suudzan...," yang sering saya katakan sambil nunjuk-nunjuk Mamak setengah tertawa.
"Ngko awakdewe yo marai diomongke uwong lho, Mak...."
Lalu mamak sambil mecucu pun mutung, "Yowis! Rasido cerita!"
Dan segala tanggapan-tanggapan lain yang menunjukkan seakan-akan Mamak adalah orang paling berat dalam menanggung dosa ghibah. Seakan lupa bahwa kami juga pernah membawa bahan ghibahan masing-masing tanpa sadar. Bahkan kadang, kalau ada hal-hal yang berhubungan dengan orang-orang sekitar - tetangga terutama, seringnya tanya ke Mamak, seperti yang dilakukan Bapak saya pagi ini - yang sayangnya dijawab oleh Mamak dengan, "Lha embuh...."
"Lha po ra omong-omong?" begitu sambung Bapak, seperti mengerti tabiat perkumpulan ibu-ibu.
Ya begitulah, bisa jadi sumber info juga kadang.
Kemudian saya teringat berita yang baru-baru ini saya ketahui lalu menanggapi cerita Mamak yang saya sebutkan di awal dengan, "Sesuk nikah kudu sertifikasi sik, lho... melu pembekalan, njuk tes, neg lulus etuk sertifikat. Neg urung etuk, rung oleh nikah."
"Lha kaya jaman mbien...," sahut Mamak yang membuat mata saya membeliak.
"Oiya?"
"Hiya... tapi aku ro bapakmu mbien 'nembak'. Lha pas jaman neng Jakarta... geg raiso." Mamak bercerita dengan jujur.
"Wolhaaaa...," tanggapan saya membuat Mamak terkekeh.
Jaman masih di Jakarta, banting tulang menjadi buruh, singkat cerita ketemu jodoh, ingin segera halal, agar sampai di rumah tinggal ijab sah, orang tua saya menempuh jalan instan.
Baiklah... ternyata perkara 'tembak-menembak' tidak hanya soal sim saja. Nampaknya kehidupan memang tidak bisa jauh-jauh dengan hal-hal semacam ini. Dalam bidang apapun. Mungkin keadaan ini juga yang dikhawatirkan oleh para golongan kontra kebijakan 'sertifikat layak nikah': membuka peluang 'kesepakatan di bawah meja'. Aparat semakin kaya, rakyat semakin sulit, kata Mbak Putri. Padahal nggak terkira banyaknya pasangan yang nikah tiap bulannya. Belum lagi kalau ada saving anggaran (eh). Selain itu, beberapa menganggap kebijakan ini terlalu mengintervensi privasi rakyat, merupakan agenda merepotkan yang bisa berujung formalitas, dan berpotensi menyulut perbenturan.
Yah, meskipun kebijakan sertifikasi nikah yang dicetuskan oleh Pak Muhadjir menimbulkan kontroversi, tak sedikit juga yang mendukung ikhtiar dan niat baik Menko PMK tersebut. Pada intinya, sertifikasi akan menjadikan setiap pasangan yang ingin menikah bisa lebih mengerti bagaimana cara mengelola masalah, kesehatan, keuangan, anak, dan segala hal yang perlu diketahui sebelum mengarungi bahtera rumah tangga (halah sok lu). Biar lebih mateng, harapannya. Meskipun kita nggak bisa berekspektasi lebih, terutama soal hasil.


Sebagai netihen, tampaknya saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Ma'ruf Amin:
"Itu (pembekalan) penting memang untuk adanya istilahnya itu memberikan pelatihan pada pranikah. karena supaya ketika dia nikah itu dia sudah siap mental dan fisik, terutama dalam menghadapi kemungkinan pencegahan stunting. Bukan berarti yang enggak punya sertifikat enggak boleh nikah, ini menakutkan. Substansinya yang kita pentingkan. Sebab rumah tangga itu unit terkecil dari masyarakat, dari negara. Dari bangsa itu kan diperkecil, miniaturnya rumah tangga. Kalau rumah tangganya berantakan itu pasti bangsa berantakan. Karena unit terkecil ini menjadi penting untuk dipersiapkan, tetapi belum dibicarakan soal sertifikasi, belum." - Ma'ruf Amin, dilansir dari Kompas.com (15/11/2019).
Meskipun saya tidak ahli soal isu-isu seperti ini, apalagi soal rumah tangga karena pada nyatanya saya sendiri belum nikah, dengan melihat dan menyaksikan kehidupan orang tua saya, soal ilmu rumah tangga... memang tidak bisa dipelajari secara sempurna hanya dalam kurun waktu 3 bulan. Butuh waktu lama... bertahun-tahun bahkan sepertinya seumur hidup. Dan itu berlangsung secara alami. Pasti akan ada hal yang harus dipelajari setiap hari. Manajemen konflik terutama. 3 bulan pembekalan - sertifikasi - atau apalah itu, tentu hanya pengantar yang pastinya akan sangat berguna jika dihayati dan dimaknai secara serius (?). Pemberian fasilitas pra nikah oleh pemerintah perlu didukung sebenarnya. Namun jika menjadikan hal tersebut sebagai syarat wajib nikah, hmmmm no comment. wqwq

Menurutmu?


Digilib UNYeah, 19/11/2019
Pukul 16.13
dalam keadaan galaw max menunggu balasan dosen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER