[ Ngoceh ] : Bagian 1 - Dari Akun Jahiliyah Sampai Detoksifikasi Sosmed

Sedikit curhat.
Sudah setahun lebih bahkansejak saya bilang ke orang lain bahwa saya ingin mengurangi interaksi dengan sosmed. Pada teman saya waktu itu, saat kuliah basa inggris di mana masing-masing kami harus men-dobleh-kan apapun tentang diri sendiri. Teman saya mengerutkan kening. Meski kalimat ‘pengen lebih hidup di dunia nyata’ telah saya sertai dengan ‘ya memang keduanya perlu, tapi sosialisasi secara langsung kan lebih penting’.

Dari situ saya sadar, bahwa memang, beberapa orang sudah sedemikian lekat dengan sosmed. Berpikiran untuk meninggalkannya untuk jangka waktu tertentu merupakan sebuah ide aneh. Namun, hal itu sebenarnya wajar. Mengingat segala macam koordinasi – baik itu tugas, event, atau bahkan kerjaan – saat ini lebih dominan dilakukan melalui instant messenger.

Merunut beberapa tahun ke belakang, saya termasuk orang yang aktif di sosmed sebenarnya. Zaman SMP, saya masih ingat, pernah mendaftarkan diri di segala macam platform. Kalau ada tombol sign up, bawaannya pengen pencet. Kerap kali belum mengerti betul hakekat dan fungsi platform yang saya daftari. Yang penting sign up dulu, eksplor-eksplor kemudian.

Pun dengan blog ini. Jika di-scroll-scroll, timeline tw-fb-blog, hmmm lumayan bikin eneg juga. Wualay-nya ya Allah. Ampe pengen muntah kadang. Pantas jika teman-teman SMA saya dulu begitu syok ketika menemukan akun sosmed dan blog saya. Penampakan status dan postingan yang saya bagi itu memang benar-benar merusak impression saya yang pendiam, kalem, dan pintar. HAHAHAH.



Beruntungnya, akun FB jahiliyah dengan nama alay yang membawa-bawa nama tenar bapak saya – yang penulisannya pun pake karakter besar-kecil dan sulit byaaanget dibaca – telah musnah.

Sejak pertama kali daftar, saya tidak menggunakan nama asli. Yah, teman-teman yang pernah mengalami masa-masa ini tentu pernah mengerti bagaimana bentukan-bentukan nama akun FB seseorang pada zaman dulu. Beberapa kali ganti pun, tidak ada bau-bau nama asli. Hingga akhirnya, pada pertengahan kelas 10 SMA kira-kira, sebuah seruan taubat menelisik sanubari dan menyadarkan saya. Jodoh saya tidak boleh melihat nama terlaknat ini. Bisa-bisa belum jadi calon, udah jadi mantan aja. Dengan segenap keikhlasan dan keridhaan, saya menuju profil ganti nama. Dan sialnya, jatah untuk ganti nama sudah habis! Woh!

Di bawah barisan warning, ada petunjuk yang mampu memberikan harapan untuk saya. Demi memperbaiki ‘nama baik’, saya baca petunjuk itu dengan khidmat. Tim FB menunjukkan saya sebuah tautan yang merupakan akses untuk menghubungi mereka jika memang penggantian nama tersebut sangat urgent. Ya jelas dong! Demi kepentingan generasi ini!

Tak lama kemudian, saya memperoleh email dari FB dan saya disuruh menerangkan sebab musabab saya harus mengganti nama profil. Dengan polosnya saya ketik (asumsikan aduan ini dengan basa inggris): “Saya ingin mengganti nama profil saya karena nama yang saya pakai sebelum-sebelumnya, bukan nama saya.”

Tak dibalas serta merta. Dengan harap-harap cemas saya masih juga menanti, sambil sesekali ngisi blog, mengoceh sesuka hati. Maklum, dulu kaga ada fitur story. Jadi kalau nyampah ya di blog. Atau twitter kadang. Nggak ada perasaan insecure sama sekali. Mau ada yang baca apa enggak, bodo amat dah. Beda banget sama sekarang. Mungkin karena dulu masih SMA kali ya, jadi nggak punya pikiran macem-macem.

Kalau sekarang?



Dengan nggak pentingnya, selepas nyetatus sering banget ngecek berapa banyak dan siapa yang udah liat. Belum kalau posting di insta. Beberapa orang memang ada yang tidak peduli sedikit pun soal insight. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa beberapa dari kita ada yang pernah merasa sedikit sedih jika mendapati ‘lapak’ yang kita buka sepi pengunjung. Tak mendapat atensi sama sekali. Ini yang nggak sehat sebenernya. Dan itu juga yang membuat saya ingin merehatkan diri dari keriuhan sosial media.

Menyembunyikan status dari orang tertentu, membisukan status, bahkan menghapus kontak teman sendiri adalah hal yang saya lakukan untuk menjaga ketahanan diri. Daripada hati kian berpenyakit, begitu pikir saya. Melalui sebuah speak-speak sambil lalu dengan beberapa teman, saya mendapati bahwa yang melakukan hal demikian tidak hanya saya saja ternyata. Sosmed sudah sedemikian toxic. Hal-hal yang jika ditelisik baik-baik sebenarnya tidak ada yang salah, tiba-tiba menjadi sumber disaster. Hal yang sepele bagi sebagian orang, menjadi tekanan yang serius untuk sebagian yang lain. Maka bukan sesuatu yang berlebihan jika saat ini banyak orang yang secara serius menyengaja untuk membuat program ‘puasa sosmed’ untuk diri sendiri. Ada yang hanya satu-dua minggu. Ada yang sampai hitungan bulan. Bahkan ada yang karena terlalu nyaman dengan kondisi tanpa sosmed tersebut, meneruskannya sampai jangka waktu yang sangat lama. Detoksifikasi sosmed, begitu mereka menamai prosesi tersebut.

Sekembalinya orang-orang yang melakukan detoksifikasi sosmed ke situasi normal, beberapa kemudian membagikan pengalaman dan penemuan besar mereka ke media.

Contoh satu kisah yang membuat saya terkesan adalah milik David Mohammadi. Awalnya, ia berencana hanya akan off dari sosmed selama dua minggu. Namun setelah merasakan berbagai hal luar biasa – yang akan ia lewatkan jika terus sibuk dengan sosmed, David memutuskan untuk meneruskan prosesi tersebut hingga 65 minggu.

Lalu apa yang membuatnya kembali?

Tak lain hanya karena teman-temannya. Ia ingin tetap berinteraksi dengan mereka; menyaksikan bahwa beberapa sudah punya anak dan ia ingin melihat foto anak-anak mereka; mengetahui beberapa telah melang-lang buana, membagikan foto dari tempat-ke tempat. Ia ingin tetap terhubung dengan mereka, dan sepenuhnya sadar bahwa memang seperti itu kehidupan era sekarang. Orang dapat tahu apa yang orang lain lakukan tanpa menghubungi dan bertanya lebih dahulu.
Setelah sekian lama menunggu, setelah hampir saja saya melupakan akun jahiliyah saya, ada email masuk dari facebook.

Dengan penuh semangat saya buka. Dan beginilah jawaban mereka kira-kira.

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER