[ Ngoceh ] : Bagian 2 - Membela Orang-Orang Slow Respon

BACA OCEHAN SEBELUMNYA DI SINI

Setelah sekian lama menunggu, setelah hampir saja saya melupakan akun jahiliyah saya, ada email masuk dari facebook.

Dengan penuh semangat saya buka. Dan beginilah jawaban mereka kira-kira.

SELAMAT! Akun anda kami BLOKIR! Alasan dibalik pemblokiran ini karena anda termasuk orang-orang yang telah memalsukan identitas. Sudah kami ingatkan. Cukup alamat saja yang palsu. Namamu jangan~

YA IYALAH! GOBLOK LU RIN!

Sudah jelas-jelas di bagian term and condition yang saya centang ASAL saat mendaftar, harus menggunakan nama asli. Semacam diam-diam ngambil jatah makan siang sodara, tapi makannya di depan mukanya.

Terlepas dari kegoblokan saya itu, saya justru bersyukur. Jejak kealayan saya di FB jadi musnah. Karena saya cukup tahu, meskipun akun jahiliyah tersebut dapat diselamatkan dengan mengganti nama yang normal pun, saya pasti akan dibayang-bayangi kenistaan masa lalu. Jejak-jejak saya masih terekam. Saya pasti akan eman-eman untuk menghapus kenangan-kenangan itu, sama seperti saya masih memelihara postingan-postingan payah di blog ini. WQWQWQ.

Saya baru masuk ke dunia instant messenger saat awal kuliah. Pernah berada pada suatu kondisi di mana apa-apa serba diapdet. Padahal jika dipikir-pikir, NGOPO JAL.


Namanya juga masa lalu. Cukuplah segala perilaku tersebut membuat saya belajar. Jika tidak demikian, pasti tidak ada konten yang bisa saya tulis hari ini. HAHAH.

Dulu, ponsel nggak pernah yang namanya abis batre ampe klicit. Dijaga banget pokoknya. Kuota juga. Yah, meskipun begitu, dari dulu saya masih termasuk orang-orang yang sedikit bodo amat jika kuota habis. Dua tiga hari lah paling tanpa sambungan internet. Itu pun tetap mendatangkan protes teman saya. “KUOTANE NDANG DIISI WOY!”

Tidak tahu saja kalau pengeluaran anak kos tidak hanya kuota. Makan 3 kali sehari, air mineral pelangi 1.5 liter/3 hari, sabun mandi, odol, sikat, detergent, molto, sunlight, uang listrik!
Maklum saja, karena dulu saya sok sibuk. Ada banyak tanggung jawab yang harus saya laksanakan dan kontrol. Hilih.

Pokoknya sebentar saja tidak on, seperti akan ketinggalan banyak hal. Apalagi kalau obrolan di dunia nyata adalah sambungan dari obrolan dunia maya. Saat mencoba tanya-tanya, jawaban yang didapat adalah: “Kamu sih nggak on!” Lalu rumpi-rumpi itu tetap berlanjut, tak mempedulikan bahwa ada orang yang sedang nyengoh-nggak-nyambung sama sekali.

Sekarang, bahkan baterai ponsel habis saja rasanya males byanget buat ngisi. Jika tidak karena ada hal yang saya butuh di ponsel (menghubungi seseorang misal, atau ngambil file), tidak menge-charge-nya sampai berhari-hari itu biasa. Terlepas kabel charger saya memang sedikit sowak sehingga menambah kemageran untuk menyambungkkannya dengan ponsel dan stop kontak. Apalagi ngisi kuota. Kalau lagi turah uang lah diisi. Kalau enggak ya udah.

Perkara update status pun, saya jadi sangat berhati-hati. Sering kali ketika hampir mau update, saya bertanya pada diri sendiri, “Penting, kah? Faedah e opo? Njuk ngopo neg nyetatus ngene? Jika orang lain tau, so what?” – yang pada akhirnya kemudian urung. Dulu setiap hari, lingkaran di status WA saya hampir pasti berwarna hijau. Sekarang bahkan nyetatus dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Meskipun ngupdate status itu menjadi hak pemilik akun seutuhnya – ‘ya suka-suka lah ya mo sharing apa’ ‘kenapa perasaan orang-orang yang sensitif itu jadi tanggung jawab kami?’ ‘kalau keganggu ya tinggal dibisukan to, atau hapus kontak, gampang’ – setidaknya kita sama-sama tahu bahwa hal-hal sepele dan terlihat kecil bisa berpengaruh ke orang lain.

Saya hanya takut menjadi sangat talkactive di sosmed, tetapi pada kenyataannya, saya tidak seperti itu. Apalagi kekuatan komunikasi saya memang di tulisan, bukan lisan. Tidak enak juga ketika orang jadi expect macem-macem karena saya begitu nice di dunia daring, padahal kenyataannya garing. Jadi orang biasa-biasa saja, lah. Seimbang maksudnya.

Sosial media hanyalah penghubung. Tidak bisa menggantikan interaksi yang sebenarnya, yang nyata, yang aktual.

Awal-awal menjadi orang yang slow respon, ada tekanan tersendiri jujur. Apalagi, orang jaman now sedikit tidak santai pada oknum-oknum yang jarang apalagi tidak muncul di grup. Sering di bawa-bawa menjadi bahan sindiran di dunia nyata itu lazim. Padahal kalau sedang on, ya saya lihat dulu apakah obrolan di grup itu urgent atau tidak. Jika urgent dan sudah ada yang menaggapi, maka saya tidak jadi menanggapi. Jika tidak ada orang lain, dan saya mengerti betul tentang perkara yang sedang ditanyakan/diributkan, baru saya mencoba memberi bantuan.

Suatu saat, saya pernah mendengar bahwa menurut orang-orang, saya menghilang. Sedikit sedih dibilang begitu. Padahal saya masih hidup. Masih ungkang-ungkang di rumah. Masih ngeteh-ngeteh di ruang tengah. Masih sering mencandai anak-anak kecil yang berlalu lalang di halaman. Masih ikutan nimbrung kumpulan ibu-ibu yang sedang ngrumpi di teras rumah saya. Masih guyon dengan keluarga saya setiap hari. Masih mondar-mandir ke sana ke mari. Masih suka makan siang di warung burjo deket kampus atau soto di taman kuliner. Kalau yang sedang beruntung hari itu, pasti ketemu saya. Dan akan mendapati, bahwa saya masih gembel. Masih suka jalan sendiri, makan sendiri, duduk sendiri. Masih suka menertawakan banyak hal. Masih ra ceto. Masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah.

Kowe lak isih urip to, Rin?” begitu pertanyaan yang dilayangkan teman saya kira-kira.



Dari hal yang saya lakukan saat ini – sedikit menjauhkan diri dari sosmed, saya menemukan dan menyadari bahwa dulu, ternyata saya begitu cuek dengan keluarga. Pulang dalam keadaan capai, goleran di kamar, terus nyambung dengan ponsel saya tapi tidak nyambung dengan orang tua. Jika diganggu, oleh adik saya terutama, mendadak jadi sensitif dan akhirnya marah-marah. Ra jelas pancen!

Sedikit-sedikitlah sekarang, berusaha memperbaiki interaktivitas. Karena jujur ya, ini menurut yang saya alami dan melihat reaksi orang-orang di sekitar saya; kalau sudah memusatkan perhatian pada ponsel, orang jadi sedikit sensi, gampang tersinggung. Padahal orang yang sedang berada di dekat kita itu hanya butuh diperhatikan. Itu saja.

Kretek,
29 Desember 2019-1 Januari 2020.
Ansito Rini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER