[ Membunuh Perasaan ] : Kematian 'Si Pembuat Ulah'


Saya bukan perempuan serba kuat, yang dengan mudah bisa rela dan ikhlas begitu saja. Kadang rasa ini masih dikotori oleh perasaan egois, yang sebenarnya sangat tidak layak saya miliki. Merasa cemburu itu wajar bukan? Tapi saya tidak berhak merasakan hal itu sama sekali. Kenapa?
Karena kamu.
Bukan.
Milik saya.
Hal itu lah yang membuat saya cepat-cepat ingin menyingkirkanmu dari hati saya, pikiran saya, bahkan mata saya. Kata orang, jatuh cinta itu tidak pernah tepat waktu. Ketika kamu jatuh cinta pada seseorang, belum tentu orang yang kamu jatuhi cinta itu juga merasakan hal yang sama. Maka saya anggap ini bukan waktunya.
Dalam masa melepaskan diri darimu itu, saya membutuhkan teman untuk membimbing saya. Pada suatu malam, saya jujur pada salah seorang teman, “Aku lagi pengen… ngelupain seseorang.”
Teman yang menjadi karib saya sejak SMA itu mengernyitan dahi, “Maksudnya?”
“Memutuskan harap pada manusia,” ungkapku dengan napas berat. “Ternyata, aku udah rusak banget, ya? Hatiku… yah… masih diliputi oleh rasa ingin memiliki.,”
“Owalah… hayo… siapa?” tanyanya yang kemudian paham.
“Seseorang… seseorang yang berulangkali mengecewakan tapi bodohnya aku jatuh berkali-kali.”
Saya tidak menyesal jatuh padamu, karena darimu, saya belajar banyak hal. Kamu inspirasi saya berjuang, tanpa kamu sadar. Kadang, saya membiarkan rasa ini tetap di sana. Yang penting saya tidak pernah nelangsa karenanya. Yang penting saya tetap fokus untuk bekerja dan menjadikan keluarga sebagai prioritas utama.
Katanya, mencinta itu tidak berdosa.
Menjadi kotor karena dihiasi oleh egoisme, cemburu, amarah, dan nafsu.
Menjadi hambar saat diluapkan tidak tepat waktu.
Kamu… apa kabar?
Setelah kamu menjalin hubungan dengan dia yang lain lagi (bukan si arogan apalagi si baik hati), saya benar-benar berhasil membuat rasa ini berhenti. Meski yakin bahwa kasmaranmu pada dia hanya sementara, tapi siapa saya bisa mengatakan bahwa kamu tidak cocok dengannya?
Kamu laki-laki baik, saya hanya menginginkan kamu juga memperoleh perempuan yang baik. Bukan pula saya, yang begitu cacat dalam bersikap dan bertutur kata, lagi tidak ada wanita-wanitanya.
Saya hanya ingin kamu menemukan seseorang yang tidak hanya peduli padamu, tapi juga pada ibumu, bapakmu, adikmu, kakakmu, keluargamu, segala urusanmu, dan duniamu secara utuh. Juga…  hari akhirmu.
Jika boleh jujur, saya juga sudah merasakan jatuh pada yang lain. Mendekat, saling berbagi, simpati. Proses yang terjadi berulang-ulang. Tapi ketika sudah masanya mereka-mereka mengecewakan, rasa ini kembali padamu. Kejadian yang membuat saya berpikir, sebenarnya kekecewaan yang saya rasa terhadapmu itu petunjuk untuk berhenti atau hanya menguji ketulusan hati?
Entahlah.
Yang jelas, tetap bertahan jatuh padamu sepertinya akan sia-sia. Tidak berguna.
Perjuangan saya melupakanmu tidak tanggung-tanggung. Bahkan saya resign dari pekerjaan saya kemudian berpindah untuk merintis karir di YouTube, bersama teman-teman saya. Benar kata wanita aroganmu dulu… dunia semakin palsu dan keorisinalitas karya sudah dipengaruhi oleh berbagai macam kepentingan orang-orang tertentu.
Meski saya sudah–mengaku–mengikhlaskanmu, saya masih sering dihantui rasa penasaran… dan sedikit harapan. Penasaran dan kelupaan menahan diri untuk membuka status WA atau instagramstory yang kamu perbarui. Berharap lagi saat kamu tiba-tiba menge-chat, membalas status, atau hanya sekadar membaca setiap updet-an saya di awal waktu. Kadang status memang begitu; memporakporandakan pikiran yang berusaha melupa, merusak yang rencana hati yang berusaha ‘bunuh diri’, dan membangkitkan simpati yang berusaha sudah tidak peduli. Akan tetapi, perlu dimengerti juga, bahwa karenanya, orang yang merindu jadi tahu kabar orang yang dirindukan… tanpa temu, tanpa berusaha merendahkan diri untuk bertanya ‘gimana kabarmu?’. Tanpa berusaha keras mengalahkan ego dan meredam gengsi. Setidaknya saya tahu bahwa kamu tetap baik-baik saja, tanpa menkhawatirkan saya yang terkadang masih mengkhawatirkanmu.
“Masih mikirin dia?” tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah duduk di depan saya.
Sontak program note ponsel saya tutup. Mengangkat wajah dan berusaha menatap mata di bawah topi putih yang memancar lembut tanpa amarah. Bibirnya justru melengkung, perlakuan yang selalu membuat saya merasa bersalah. “Enggak, lah… ngapain?”
Dia hanya manggut-manggut maklum. Tersenyum, mengawetkan kedua lesung pipi seakan memang tidak merasa kesal sama sekali. Tanpa bertanya lebih lanjut, tanpa mengusik lebih dalam. Pengertian. Kelebihannya. Tidak sepertimu.
“Nanti ketemuannya di sini?” tanyanya lagi sambil mengedarkan mata ke seluruh penjuru kafe.
“Katanya sih, gitu. Sebenernya kalau temu dan bahas proyeknya tu di Aula Java Village–”
“Lhoh? Jauh, dong,” dia memutus sebelum saya sempat menjelaskan lebih lanjut.
Dengan ragu saya menjawab, “Ya… lumayan, sih. Tapi bisa jalan kaki, kok. Deket.”
“Yaudah aku anterin aja sekarang–”
“–enggak,” jawaban saya membuatnya mengernyit. Saya berpikir sebentar. Dengan napas berat saya mengaku, “Saya sebenernya…. mau ketemuan dulu sama dia.” Sebelum rautnya berubah, saya melanjutkan, “Mengakhiri semuanya. Saya… cuma pengen biar lebih lega aja.”
“Sama mastiin kalau dia emang nggak ada rasa?” saya dibunuh oleh pertanyaannya. Kini wajahnya yang senantiasa terlihat ramah itu mulai serius. “Kalau nggak ada rasa… yaaaa… pertemuan ini akan sangat berguna. Tapi kalau ternyata dia ada rasa… kamu mau sama dia?”
“Enggak… bukan gitu.” saya berusaha keras untuk mengembalikan pengertian dan perhatiannya lagi. “Saya cuma mau buktiin ke diri saya sendiri kalau saya emang udah nggak ada rasa sama dia. Dan saya yakin kalau rasa ini emang udah ilang. Ketika nanti saya ketemu sama dia udah mati rasa, itu cukup membuat saya lupa-selupa-lupanya.”


Saya tahu, alasan saya tak masuk akal baginya. Alasan yang penuh lelucon dan tidak waras. Tapi dia tak menunjukkan penentangan sedikitpun. Hanya menghela napas sambil melepas topi kemudian mendaratkan benda itu ke kepala saya.
“Sama ngasih undangan. Kan nggak enak juga kalau di tempat, banyak orang, dan yang lain nggak dikasih. Gimana pun dia itu temen saya.”
Tambahan itu membuatnya tertawa. “Yaudah ati-ati, ya. Ini nanti dipake, di luar panas banget.” terangnya sambil membenarkan letak topi di kepala saya.
Setelahnya, lelaki itu bergegas. Tapi sebelum ia jauh melangkah, saya segera berujar, “Kamu percaya sama saya, kan?”
Lama sekali laki-laki itu mematung. Namun tak lama kemudian, berbalik sambil tersenyum. “Nggak usah ditanya.” kemudian dia pergi meninggalkan saya yang terus mengikuti pergerakan bahunya.
Saya, memang memiliki masa lalu yang menyedihkan. Tapi saya berhak memiliki masa depan yang membahagiakan. Meski hari-hari saya sudah ternoda karena merindui orang yang salah.
Salah?
Anggap saja demikian. Karena seringkali harapan muncul disebabkan pembenaran yang tidak masuk akal. Jadi anggap saja kamu orang yang salah. Toh jika kamu orang yang benar, takdir tentu akan membawa saya padamu. Kenapa harus resah?
Di sini lah saya saat ini, menunggu orang-orang yang akan bekerja sama dengan saya dalam sebuah proyek milik kominfo. Menunggu mereka, juga menunggumu. Saya terkejut, karena dalam barisan kertas surat tugas itu, ada namamu. Kebetulan yang menyakitkan.
“Rini?” suara itu menghentikan napas saya.
Mata jernih bersinar, gigi putih rapi, dan raut muka sumringah itu saya lihat lagi. Kamu.
“Udah lama?”
“Belum, sih… sekitar… enam menit yang lalu,” jawab saya singkat.
Kamu duduk di kursi depan saya. Setelah melepas tas dari bahu dan melipat siku, kamu bertanya, “Gimana kabarnya?”
“Nggak begitu buruk.”
Mendengar jawaban saya yang begitu, kamu malah tertawa. “Jawabanmu nggak berubah, ya,” komentarmu.
Saya hanya tersenyum sekilas. “Kamu masih di iTV?” tanya saya sambil menyodorkan kentang goreng padamu.
Tampaknya kamu juga kelelahan dan lapar karena segera menyambut kentang goreng yang saya sodorkan, “Masih,” jawabmu bangga.
“Wow… loyal juga, ya…,” saya manggut-manggut.
“Ya emang aku orangnya setia,” sahutmu yang membuatku tertawa.
Tertawa sarkas. “Masih sama dia berarti?” timpal saya.
Kamu malah tersenyum sambil bilang, “Enggak. Aku maunya setia, tapi orang yang aku setiain nggak setia.”
“Dunia emang kadang gitu,” sahut saya enteng.
“Kamu? Udah touring ke mana aja?” tanyamu sambil memusatkan perhatian pada saya.
“Nggak ke mana-mana. Paling jauh sampai Jepang. Masih berkutat di dalam negeri, kok.”
“Emmmmm,” itu ungkapan terakhir sebelum percakapan kita direnggut sepi.
Ternyata rasanya seperti ini. Setelah sekian lama saya membunuh perasaan ini, yang tersisa hanya antipati. Malas, tak berminat, semua terasa hanya basa-basi.
“Kamu nggak kangen aku?” tanyamu tiba-tiba yang bahkan tak menggetarkan hati saya sama sekali.
Saya menghela napas, menatapmu simpati. “Kalau enggak gimana?”
Kamu tertawa. “Perempuan cepat lupa, ya. Padahal kayaknya, aku dulu kalau ngeluh tentang pekerjaan ke kamu, deh. Sekarang… kayaknya aku kena karma karena baru sadar, no one can hear me as well as you.”
Kali ini saya bingung harus menjawab bagaimana.
Sebelum pembicaraan ini  semakin menyakitimu, cepat saya mengeluarkan selembar kertas yang dibungkus cantik dari dalam tas. Baru kali ini saya merasa percaya diri sampai seperti ini.
“Aku mau ngasih kabar,” sahut saya seraya menyarukkan undangan berpita ke hadapanmu.
Dahimu mengernyit, menatap saya baik-baik. “Dateng, ya…. Aku juga ngundang yang lain juga, kok. Satu divisi aku undang. Siapa tahu bisa reuni. Ohiya, sama mantanmu juga aku undang. Siapa tahu kamu bisa balikan.”
Kamu tertawa. Tapi hambar. Membuat saya tidak tahan untuk tidak bertanya, “Kenapa? Ada masalah?”
Kamu diam saja. Menatap nama dalam undangan itu kemudian menghela napas. “Nggak nyangka aja.”
Saya hanya tersenyum mendengar jawabanmu. Pelan, saya tepuk bahumu–untuk yang terakhir–sambil bilang, “Kamu juga bakal nemuin yang terbaik setelah ini. Kalau nemu yang baik-baik, jangan nunggu lama… apalagi disia-sia. Oke? Keep fighting, boy!”

[ E N D ]

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER

Nggak Penting~