[ Membunuh Perasaan ] : Rasa yang Terpantik
Hari itu
untuk pertama kalinya saya bersitatap denganmu. Kemeja batik dan celana kain
hitam adalah setelan yang hari itu kamu kenakan, demikian juga dengan saya:
kerudung hitam, baju batik, dan rok kain hitam. Kita berkesempatan menjadi
sebuah tim dalam sebuah internship di
salah satu stasiun televisi nusantara. Kita jadi gembalaan yang harus siap
sedia dan menurut untuk disuruh apa saja. Interaksi kita hanya sebatas temu
waktu itu, tanpa senyum apalagi sapa. Hal yang membuat saya terkesan padamu
adalah bahwa kamu orang yang profesional, humoris, dewasa, totalitas, santai, dan
yang terpenting tidak modusan.
Enam
bulan kemudian, panggilan untuk menjadi bagian dari crew yang sesungguhnya sama-sama kita terima. Dalam tim produksi, saya
dan kamu memulai uraian benang kenangan ini.
“Rin, udah selesai?”
“Rin bantu ini, ya?”
“Rin yang nyerahin ini ke
editor kamu aja gimana?”
“Rin tolong….”
Begitu permintaanmu pada
saya yang entah mengapa selalu saya iyakan. Tiga tahun kita bekerja sama dan
saya saksimu ribut ini-itu, kesal, bingung, marah, frustasi, ingin mati! Jika
saja bisa dihitung, kamu adalah orang yang perintahnya paling sering saya
tepati setelah kedua orang tua saya.
Di tengah tahun pertama
itu, kamu jadi sebatu-batunya orang. Meski sudah menjadi rahasia umum bahwa
kamu orang yang keras kepala. Tapi ada hal yang membuat saya sangat membencimu
waktu itu.
Dengan gaya slengekan
khasmu, perlahan kamu membungkuk untuk mendapat jarak aman dengan siku menempel
di meja kerja saya. Setelah menatap dan mendapat perhatian saya yang sedang
mengetik naskah iklan yang harus jadi beberapa jam lagi, kamu bilang, “Aku
malem ini harusnya lembur. Tapi aku terlanjur janji sama orang. Kamu malem ini
luang nggak? Bisa gantiin aku?”
“Luang, sih… tapi aku tu–
”
“Tolong aku, lah…,”
Kemudian saya menghela
napas dan kepala ini sontak mengangguk saja. Kamu girang, begitu pun saya walau
kegirangan saya hanya sebatas melihatmu girang.
Malam itu, kamu keluar
bersama salah seorang anggota tim kita: wanita idaman laki-laki seantero jagad
raya. Cantik, ideal, terawat, modis, wangi! Tidak seperti saya yang jarang
tersentuh make-up, berpakaian
sekenanya, dan selalu menjerit saat sebuah semprotan parfum mendarat di baju
saya. Bahkan menggunakan sandal wanita pun saya lecet-lecet. Buat saya, sepatu
wanita hanya sekali pakai akibat tingkah saya yang tidak bisa diam di satu
tempat. Makanya saya lebih memilih sepatu running,
sama seperti kamu.
Tidak seperti kamu yang
berpamitan, tersenyum, dan melambai, wanita itu melengos dan memberikan raut
sinis pada saya. Jujur saya benci padanya karena dia sama sekali tidak bisa
menghargai orang lain, pilih-pilih, dan arogan. Bisa-bisanya kamu terpikat
dengan wanita seperti itu.
Bukan… tergoda lebih
tepatnya.
Entah sihir apa yang dia tiupkan
karena selama kamu bersamanya, kerjamu jadi kacau akhir-akhir itu. Hatimu buta,
pikiranmu keruh, mudah tersinggung, dan susah diajak bicara. Selama ini memang,
dia dikenal sebagai orang yang sangat susah diajak bekerja sama dan semua orang
menyadari itu. Makanya banyak orang tak suka dengannya. Dan hal itulah yang
membuatmu simpati padanya. Saya ingat pada suatu hari, kamu mati-matian membela
argumennya di depan Eksekutif Produser sampai keringatmu bercucuran. Kamu jadi
pembangkang dan penentang. Katamu semua orang tidak rasional, palsu, penipu. Saya
tidak habis pikir… bagaimana bisa? Kamu yang profesional, menjadi pecundang
karena disetir oleh ratu yang kamu anggap paling benar… paling memahamimu
luar-dalam. Padahal, kamu adalah kandidat kuat calon produser selanjutnya.
Namun karena hal itu, hilang kepercayaan semua orang padamu. Saya ikut benci
padamu, tapi kemudian sedih melihat kondisimu yang begitu.
Kamu… apa kabar?
Saya rindu kamu yang
selalu bersemangat dalam bekerja. Yang membuat saya juga ikut semangat.
Beberapa bulan kemudian,
ada suatu masa ketika kamu jadi pendiam dan baik hati. Kesongonganmu itu
seperti musnah. Slengekanmu berubah jadi sikap bijaksana lagi tenang penuh
kedamaian. Ternyata, kamu habis dikecewakan. Baru saja terbukti bahwa wanitamu
itu tidak sungguh-sungguh denganmu. Bahkan dia minggat dari kantor karena tidak
kuat dengan tingkah semua rekan kerjanya yang ia anggap ‘kampungan’.
Saya hanya
geleng-geleng kepala menyaksikan semuanya. Miris, tapi lega. Karena kamu
akhirnya kembali. Bekerja secara sehat sebagaimana sebelum-sebelumnya bahkan
semakin menawan dalam pengambilan keputusan.
Pertengahan tahun kedua, kamu menjadi produser dan saya hendak
ditarik untuk masuk tim kreatif, tetapi kamu menahannya. Kamu berdebat dengan
Mbak Eva–kepala tim kreatif waktu itu. Semua keputusan ada pada saya, dan tentu
saja… saya memilih kamu, tetap di tempat saya menjadi Production Assistant.
Saya saksimu
memperjuangkan semua targetan-targetan yang kamu tetapkan. Mondar-mandir sana
sini, lembur, serius di depan layar laptop, kejar deadline dan apapun. Saya juga saksimu saat menghadapi masalah
pelik. Saksimu berbahagia, karena satu persatu target-target itu terwujud. Kita
sama-sama berbangga karena tim solid yang kita bentuk mampu memberikan
sumbangan besar bagi kemajuan stasiun televisi kita tercinta.
Kamu… adalah laki-laki
yang perhatian dengan caramu sendiri. Tidak sembarang orang bisa merasakan,
tidak sembarang orang bisa menyadari.
Pada suatu malam saat
hendak pulang, saya bertemu kamu di parkiran.
“Mau pulang?”
“Iya.”
“Sendirian?” tanyamu yang
membuat saya hanya mengedikkan bahu. Kepalamu berputar, matamu menyapu
lingkungan sekitar. Kamu memanggil salah seorang rekan kerja yang hendak masuk
mobil lalu bilang, “Anaaa… barengin, gi!”
Setelah pasti bahwa saya
akan pulang bersama seorang teman perempuan itu, kamu kenakan helmmu,
menyetater, dan melajukan motor untuk pulang, tanpa menengok saya sama sekali.
Kadang kamu begitu, tiba-tiba mengutus seseorang untuk menemani bahkan memaksa
saya makan, menemani saya lembur, dan meminjami apapun yang saya butuhkan.
Sebenarnya kamu bisa lakukan sendiri itu semua untuk saya, tapi tidak kamu
lakukan. Dan karena itu lah saya merasa dihargai sebagai seorang perempuan.
Ketika dilanda panik
tengah malam karena dateline kerja,
saya bersama kamu menyelesaikannya bersama-sama, meski kita berada pada tempat yang
berbeda. Kamu di rumah, dan saya masih di kantor tanpa kamu tahu. Panik
bersama, lalu kemudian lega bersama karena setelah itu kita berhasil
menyelesaikannya sebelum hari berganti. Rasanya, tangan saya gatal untuk tidak live report. Saya kirim foto salah satu
sisi ruangan yang sudah remang-remang karena beberapa lampu kantor sudah
dimatikan. Setelah tahu bahwa sebenarnya saya mengerjakan semuanya di kantor,
kamu memarahi saya habis-habisan. Rencana saya yang berniat untuk tidur kantor
sekalian jadi batal karena kamu larang. Setelah berdebat sebentar, saya
akhirnya mematuhi apa maumu. Membelah sepi dan dinginnya malam dengan ditemani
kamu, walau hanya melalui panggilan telepon.
Kamu… apa kabar?
Saya masih begitu ingat
raut khawatirmu dua tahun lalu. Saat di mana saya menghilang untuk beberapa
jam, tapi akhirnya kembali ke hadapanmu.
Waktu itu, saya punya
proyek film yang menuntut saya sebagai seorang produser ikut turun ke daerah
pedalaman. Tim saya berangkat, berpamitan padamu, berpamitan pada yang lain.
Kami berangkat berenam satu mobil dengan membawa perkakas dan bahan makanan
yang akan menghidupi kami selama beberapa hari ke depan.
Tidak beruntungnya,
langkah kami terhalang. Di tengah hutan kami tersesat, padahal perjalanan masih
sangat jauh dari kata setengah tetapi kami tidak segera menemukan jalan keluar.
Bahan bakar mobil habis. Kami terjebak selama dua hari dua malam. Tidak ada sinyal,
dan kami bingung hendak bagaimana mencari bantuan. Sinyal SOS yang kami kirim
berulang-ulang seperti tiada guna sama sekali.
Di tengah keputusasaan
dan kelemahan fisik, bantuan datang. Kami berhasil dievakuasi dengan selamat ke
puskesmas terdekat. Kamulah orang yang pertama kali saya lihat saat pertama
kali mendarat. Saya adalah satu-satunya orang yang masih sanggup berdiri.
Sehingga saya masih kuat menghadapmu–yang hanya diam membisu menatap saya
dengan tatapan iba dan wajah abu-abu. Kita hanya berpandangan sekilas karena
setelah itu saya melewatimu tanpa mengatakan apapun karena saya begitu letih.
Terasa dingin, sadis, dan datar. Ditambah, tatapanmu yang demikian membuat saya
semakin lemah. Meski begitu, saya melihat bahwa kamu mengekori pergerakan saya.
Baru saya tahu setelah mengecek ponsel dan mendapat sinyal, kamu adalah
satu-satunya orang yang berusaha menelpon saya berkali-kali. Mengebom saya
dengan belasan pesan yang menyiratkan sebuah kekhawatiran.
Kamu… apa kabar?
Saya merindukan rentetan
laporan keluh kesahmu sekaligus momen saat kita saling berbagi beban dan
ketidakkuasaan. Karena untuk sekarang, sepertinya hal itu sudah tak mungkin
lagi kita lakukan.
[ B E R S A M B U N G ]
Auto muter soundtrack di kepala "kau harusnya memilih aku...." 😂
BalasHapusngekek sumveh
HapusBaper mbk
BalasHapusbaper baper manja
Hapus