[ Membunuh Perasaan ] : Rasa yang Terpantik


Sabtu, 24 Oktober 2015
Hari itu untuk pertama kalinya saya bersitatap denganmu. Kemeja batik dan celana kain hitam adalah setelan yang hari itu kamu kenakan, demikian juga dengan saya: kerudung hitam, baju batik, dan rok kain hitam. Kita berkesempatan menjadi sebuah tim dalam sebuah internship di salah satu stasiun televisi nusantara. Kita jadi gembalaan yang harus siap sedia dan menurut untuk disuruh apa saja. Interaksi kita hanya sebatas temu waktu itu, tanpa senyum apalagi sapa. Hal yang membuat saya terkesan padamu adalah bahwa kamu orang yang profesional, humoris, dewasa, totalitas, santai, dan yang terpenting tidak modusan.
Enam bulan kemudian, panggilan untuk menjadi bagian dari crew yang sesungguhnya sama-sama kita terima. Dalam tim produksi, saya dan kamu memulai uraian benang kenangan ini.
“Rin, udah selesai?”
“Rin bantu ini, ya?”
“Rin yang nyerahin ini ke editor kamu aja gimana?”
“Rin tolong….”
Begitu permintaanmu pada saya yang entah mengapa selalu saya iyakan. Tiga tahun kita bekerja sama dan saya saksimu ribut ini-itu, kesal, bingung, marah, frustasi, ingin mati! Jika saja bisa dihitung, kamu adalah orang yang perintahnya paling sering saya tepati setelah kedua orang tua saya.


Di tengah tahun pertama itu, kamu jadi sebatu-batunya orang. Meski sudah menjadi rahasia umum bahwa kamu orang yang keras kepala. Tapi ada hal yang membuat saya sangat membencimu waktu itu.
Dengan gaya slengekan khasmu, perlahan kamu membungkuk untuk mendapat jarak aman dengan siku menempel di meja kerja saya. Setelah menatap dan mendapat perhatian saya yang sedang mengetik naskah iklan yang harus jadi beberapa jam lagi, kamu bilang, “Aku malem ini harusnya lembur. Tapi aku terlanjur janji sama orang. Kamu malem ini luang nggak? Bisa gantiin aku?”
“Luang, sih… tapi aku tu– ”
“Tolong aku, lah…,”
Kemudian saya menghela napas dan kepala ini sontak mengangguk saja. Kamu girang, begitu pun saya walau kegirangan saya hanya sebatas melihatmu girang.
Malam itu, kamu keluar bersama salah seorang anggota tim kita: wanita idaman laki-laki seantero jagad raya. Cantik, ideal, terawat, modis, wangi! Tidak seperti saya yang jarang tersentuh make-up, berpakaian sekenanya, dan selalu menjerit saat sebuah semprotan parfum mendarat di baju saya. Bahkan menggunakan sandal wanita pun saya lecet-lecet. Buat saya, sepatu wanita hanya sekali pakai akibat tingkah saya yang tidak bisa diam di satu tempat. Makanya saya lebih memilih sepatu running, sama seperti kamu.
Tidak seperti kamu yang berpamitan, tersenyum, dan melambai, wanita itu melengos dan memberikan raut sinis pada saya. Jujur saya benci padanya karena dia sama sekali tidak bisa menghargai orang lain, pilih-pilih, dan arogan. Bisa-bisanya kamu terpikat dengan wanita seperti itu.
Bukan… tergoda lebih tepatnya.
Entah sihir apa yang dia tiupkan karena selama kamu bersamanya, kerjamu jadi kacau akhir-akhir itu. Hatimu buta, pikiranmu keruh, mudah tersinggung, dan susah diajak bicara. Selama ini memang, dia dikenal sebagai orang yang sangat susah diajak bekerja sama dan semua orang menyadari itu. Makanya banyak orang tak suka dengannya. Dan hal itulah yang membuatmu simpati padanya. Saya ingat pada suatu hari, kamu mati-matian membela argumennya di depan Eksekutif Produser sampai keringatmu bercucuran. Kamu jadi pembangkang dan penentang. Katamu semua orang tidak rasional, palsu, penipu. Saya tidak habis pikir… bagaimana bisa? Kamu yang profesional, menjadi pecundang karena disetir oleh ratu yang kamu anggap paling benar… paling memahamimu luar-dalam. Padahal, kamu adalah kandidat kuat calon produser selanjutnya. Namun karena hal itu, hilang kepercayaan semua orang padamu. Saya ikut benci padamu, tapi kemudian sedih melihat kondisimu yang begitu.

Kamu… apa kabar?
Saya rindu kamu yang selalu bersemangat dalam bekerja. Yang membuat saya juga ikut semangat.

Beberapa bulan kemudian, ada suatu masa ketika kamu jadi pendiam dan baik hati. Kesongonganmu itu seperti musnah. Slengekanmu berubah jadi sikap bijaksana lagi tenang penuh kedamaian. Ternyata, kamu habis dikecewakan. Baru saja terbukti bahwa wanitamu itu tidak sungguh-sungguh denganmu. Bahkan dia minggat dari kantor karena tidak kuat dengan tingkah semua rekan kerjanya yang ia anggap ‘kampungan’.
Saya hanya geleng-geleng kepala menyaksikan semuanya. Miris, tapi lega. Karena kamu akhirnya kembali. Bekerja secara sehat sebagaimana sebelum-sebelumnya bahkan semakin menawan dalam pengambilan keputusan.
Pertengahan tahun  kedua, kamu menjadi produser dan saya hendak ditarik untuk masuk tim kreatif, tetapi kamu menahannya. Kamu berdebat dengan Mbak Eva–kepala tim kreatif waktu itu. Semua keputusan ada pada saya, dan tentu saja… saya memilih kamu, tetap di tempat saya menjadi Production Assistant.
Saya saksimu memperjuangkan semua targetan-targetan yang kamu tetapkan. Mondar-mandir sana sini, lembur, serius di depan layar laptop, kejar deadline dan apapun. Saya juga saksimu saat menghadapi masalah pelik. Saksimu berbahagia, karena satu persatu target-target itu terwujud. Kita sama-sama berbangga karena tim solid yang kita bentuk mampu memberikan sumbangan besar bagi kemajuan stasiun televisi kita tercinta.

Kamu… adalah laki-laki yang perhatian dengan caramu sendiri. Tidak sembarang orang bisa merasakan, tidak sembarang orang bisa menyadari.

Pada suatu malam saat hendak pulang, saya bertemu kamu di parkiran.
“Mau pulang?”
“Iya.”
“Sendirian?” tanyamu yang membuat saya hanya mengedikkan bahu. Kepalamu berputar, matamu menyapu lingkungan sekitar. Kamu memanggil salah seorang rekan kerja yang hendak masuk mobil lalu bilang, “Anaaa… barengin, gi!”
Setelah pasti bahwa saya akan pulang bersama seorang teman perempuan itu, kamu kenakan helmmu, menyetater, dan melajukan motor untuk pulang, tanpa menengok saya sama sekali.
Kadang kamu begitu, tiba-tiba mengutus seseorang untuk menemani bahkan memaksa saya makan, menemani saya lembur, dan meminjami apapun yang saya butuhkan. Sebenarnya kamu bisa lakukan sendiri itu semua untuk saya, tapi tidak kamu lakukan. Dan karena itu lah saya merasa dihargai sebagai seorang perempuan.

Ketika dilanda panik tengah malam karena dateline kerja, saya bersama kamu menyelesaikannya bersama-sama, meski kita berada pada tempat yang berbeda. Kamu di rumah, dan saya masih di kantor tanpa kamu tahu. Panik bersama, lalu kemudian lega bersama karena setelah itu kita berhasil menyelesaikannya sebelum hari berganti. Rasanya, tangan saya gatal untuk tidak live report. Saya kirim foto salah satu sisi ruangan yang sudah remang-remang karena beberapa lampu kantor sudah dimatikan. Setelah tahu bahwa sebenarnya saya mengerjakan semuanya di kantor, kamu memarahi saya habis-habisan. Rencana saya yang berniat untuk tidur kantor sekalian jadi batal karena kamu larang. Setelah berdebat sebentar, saya akhirnya mematuhi apa maumu. Membelah sepi dan dinginnya malam dengan ditemani kamu, walau hanya melalui panggilan telepon.

Kamu… apa kabar?
Saya masih begitu ingat raut khawatirmu dua tahun lalu. Saat di mana saya menghilang untuk beberapa jam, tapi akhirnya kembali ke hadapanmu.
Waktu itu, saya punya proyek film yang menuntut saya sebagai seorang produser ikut turun ke daerah pedalaman. Tim saya berangkat, berpamitan padamu, berpamitan pada yang lain. Kami berangkat berenam satu mobil dengan membawa perkakas dan bahan makanan yang akan menghidupi kami selama beberapa hari ke depan.
Tidak beruntungnya, langkah kami terhalang. Di tengah hutan kami tersesat, padahal perjalanan masih sangat jauh dari kata setengah tetapi kami tidak segera menemukan jalan keluar. Bahan bakar mobil habis. Kami terjebak selama dua hari dua malam. Tidak ada sinyal, dan kami bingung hendak bagaimana mencari bantuan. Sinyal SOS yang kami kirim berulang-ulang seperti tiada guna sama sekali.
Di tengah keputusasaan dan kelemahan fisik, bantuan datang. Kami berhasil dievakuasi dengan selamat ke puskesmas terdekat. Kamulah orang yang pertama kali saya lihat saat pertama kali mendarat. Saya adalah satu-satunya orang yang masih sanggup berdiri. Sehingga saya masih kuat menghadapmu–yang hanya diam membisu menatap saya dengan tatapan iba dan wajah abu-abu. Kita hanya berpandangan sekilas karena setelah itu saya melewatimu tanpa mengatakan apapun karena saya begitu letih. Terasa dingin, sadis, dan datar. Ditambah, tatapanmu yang demikian membuat saya semakin lemah. Meski begitu, saya melihat bahwa kamu mengekori pergerakan saya. Baru saya tahu setelah mengecek ponsel dan mendapat sinyal, kamu adalah satu-satunya orang yang berusaha menelpon saya berkali-kali. Mengebom saya dengan belasan pesan yang menyiratkan sebuah kekhawatiran.

Kamu… apa kabar?

Saya merindukan rentetan laporan keluh kesahmu sekaligus momen saat kita saling berbagi beban dan ketidakkuasaan. Karena untuk sekarang, sepertinya hal itu sudah tak mungkin lagi kita lakukan.


[ B E R S A M B U N G ]

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER

Nggak Penting~