[ Membunuh Perasaan ] : Ingin Berhenti


Kamu… apa kabar?
Saya merindukan rentetan laporan keluh kesahmu sekaligus momen saat kita saling berbagi beban dan ketidakkuasaan. Karena untuk sekarang, sepertinya hal itu sudah tak mungkin lagi kita lakukan.
“Menurutmu gimana?”
“Aku bingung harus jawab apa.”
“Kamu udah tahu belum…?”
“Kamu harus kuat. Cuma kamu satu-satunya yang bisa aku andelin.”
“So what? Emang aku mikirin?”
“Jangan gitu. Kamu nggak boleh nyerah… aku semangatin!”
Kata-kata yang masih lekat dalam ingatan saya berikut bagaimana kamu mengucapkannya. Sering kita berdiskusi, atau hanya mengobrol, mulai dari yang serius sampai remeh temeh. Baik langsung, atau pun hanya lewat pesan chatting. Kadang saya khawatir… khawatir jika saya terlalu bergantung padamu. Saat ini pun saya sadar bahwa dosa terbesar saya bersamamu adalah menceracau hingga dini hari sampai lupa waktu hampir setiap hari.
Hal besar yang kamu ajarkan pada saya adalah menahan diri untuk tidak menguraikan kesulitan yang dihadapi pada orang lain. Kamu tidak mengucapkan hal itu, tapi kamu tunjukkan. Saat kamu seperti terlihat banyak beban tapi tidak bercerita, saya tidak pernah khawatir. Karena itu artinya, kamu masih tidak terlalu bermasalah. Namun jika sudah klimaks atau berada pada puncak kebingungan, kamu pasti akan bilang. Pun ketika kamu tidak bilang, saya tahu. Dan kamu selalu jujur jika saya tanyai tentang hal itu.
Kamu… seorang yang sempurna dalam ketidaksempurnaanmu. Meski hampir tenggelam oleh urusan-urusan dunia, kamu selalu menyempatkan diri untuk membagi pikiran dan fisikmu untuk sosial. Demikian, ketika saya menyaksikanmu, saya seperti sedang melihat bapak–laki-laki yang paling berharga bagi saya di dunia ini. Sama-sama pekerja keras, tabah, selalu percaya pada keyakinan ‘kabeh ana dalane’, apa adanya, dan gigih dalam berjuang di masyarakat. Kamu dan bapak saya seperti sebuah similaritas. Bedanya, bapak saya tidak pernah mengecewakan. Sedangkan kamu, berulangkali bahkan selalu.


Tahun ketiga, kamu dipromosikan untuk menjadi Kepala Divisi Fasilitas. Meski masih dalam satu bingkai dengan Divisi Produksi, kamu tidak tertarik sama sekali. Kamu masih ingin mengabdikan diri sebagai produser katamu. Padahal ada banyak sekali pihak yang menekan, tapi hatimu belum mantap untuk mengambil tawaran itu. Kamu tidak bercanda tentu saja, dan saya percaya. Karena ketika saya ikut mendorongmu untuk maju dan kamu berkata ‘tidak’, itu artinya memang tidak.
Sampai suatu saat, tiba-tiba dengan serius kamu bilang, “Aku jadi maju.”
Saya yang sedang menyeruput es jeruk lewat sedotan kemudian terbatuk. Dengan mata membeliak dan sumringah, saya berseru, “Alhamdulillaaaaaaah!”
Namun kamu justru bermuka bosan dan bilang, “Kok malah seneng, sih?”
“Lho? Emang aku harus gimana?”
Kamu hanya diam saja. Tidak menjawab, seperti tidak berminat untuk membahasnya lebih lanjut. Matamu seperti menyiratkan balasan, “Kita bakal jarang sama-sama lagi. Kamu nggak sedih?”. Begitulah halusinasi yang mampir di benak saya. Halusinasi yang muncul karena pengharapan yang terlalu tinggi. Lihat? Kamu akan bilang sendiri tanpa saya paksa untuk mengakui.
Kenapa saya senang… kenapa saya ikut berkomplot untuk menendangmu dari divisi produksi? Karena kamu tahu? Saya akan selalu mendukung apapun keputusanmu. Saya ikut bangga kamu menjadi seseorang yang maju, ikut senang kamu berkembang ke arah yang lebih baik. Turut berbahagia ketika kamu menemukan kenyamanan dan kesenanganmu. Karena entah mengapa, saya juga tidak tahu bagaimana bisa, dada saya akan ikut nyeri saat menyaksikanmu terpuruk, terasing, dan tidak bersemangat seperti biasa.
“Masih sakit?” pernah kubertanya padamu saat selembar masker menutupi setengah wajahmu.
Kamu hanya mengangguk. Saya pun hanya menghela napas, langsung pergi sambil bilang, “Cepet sembuh!”
Itulah kondisi yang paling tidak bisa saya kendalikan: tidak bisa mengontrol diri untuk tidak peduli.
Saya memang jarang bertanya dan terkesan e-ge-pe, tapi sesungguhnya saya menyimpan perhatian yang sangat besar padamu. Pada setiap kabar dan gerak-gerikmu.
Setelah kita tidak berada dalam satu tim, saya hanya mendengar kabarmu dari orang lain. Baru saya merasakan bahwa hal yang paling menyakitkan adalah mendengar kabar orang yang disayang dari orang lain. Bahkan bertanya atau memulai pun saya sungkan.  Terakhir yang saya tahu, kamu digosipkan sedang dekat dengan seseorang. Pernah saya menyaksikanmu diinterogasi secara langsung. Dari kerdipan mata dan kembangan senyummu, saya menangkap kebenaran bahwa kamu memang jatuh cinta padanya. Ahh… bahagianya kamu… tetapi mengapa kamu masih mengelak untuk mengakui? Setidaknya saya lega karena perempuan itu adalah orang yang ‘benar’. Orang yang sangat mengenal dan memahamimu dengan sangat baik.

Kamu tahu? Perasaan saya padamu itu seperti gelombang di lautan… cepat pasang, cepat surut, dan sulit untuk diprediksi.
Saat saya dan kamu sudah tidak pernah lagi bertemu, saya akan lupa jika pernah menaruh rasa padamu. Saat tanpa rencana bekesempatan duduk bersama dan menatap lagi mata coklatmu, saya jatuh lagi. Saya selalu merasa aman dan nyaman berada didekatmu–padahal saya tipe orang yang selalu menjaga jarak dengan laki-laki jenis apapun. Pun saya juga tidak merasa gugup atau berdegup gila seperti kebanyakan orang jatuh cinta. Hanya tenang, itu saja. Saat keras kepalamu kambuh sampai tidak bisa ditoleransi, dengan segera saya akan merasa benci. Bahkan kadang, tanpa kamu sadari sikap dan tutur katamu sangat menyakitkan hati. Meski kamu tidak bermaksud, tapi entah mengapa sangat sensitif untuk saya. Setelah saya berhasil menjadikan kejadian-kejadian itu sebagai alasan untuk berhenti, kamu datang lagi. Bercerita kembali, atau memberikan apresiasi pada setiap program yang saya produksi sambil memberikan dukungan tak henti-henti. Lalu saya jatuh lagi. Namun kemudian patah setelah menyadari bahwa rasamu bukan untuk saya, tapi orang lain, dan saya jelas menyaksikannya.

Bodohnya saya
Siang ini saya merindui anda
Sorenya resah karena anda
Petangnya muak karena anda
Malamnya senang karena anda
Dan saat itu juga kacau.
Rasa ini merendahkan saya
Ya Rabb, bantu saya untuk berhenti.
Bantu saya untuk menyudahi semua ini.
Jika jatuh cinta lagi adalah cara yang tepat untuk mengobati semua ini,
Maka izinkan saya jatuh cinta pada-Mu saja.

Senin, 10 Juli 2017 pukul 21:41

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER

Nggak Penting~