[ Ngoceh ] : Sepenggal Kisah di Dua Pekan Awal

“Ya memang, awal-awal jadi guru pasti kamu akan idealis. Tapi, lama-lama kamu akan capek menyaksikan kondisi dunia pendidikan yang sebenarnya. Miris, mbak. Yang ada cuma jengkel. Apa-apa serba salah, banyak tuntutan, banyak tekanan. Yang ‘luweh’ bakal ‘cari aman’, hanya sedikit yang masih bisa ‘tahan’. Pendidikan karakter digembor-gemborkan di kelas, tapi pelaksanaan sistemnya sama aja. ” -Seorang guru, 2018.
Baru dua pekan kira-kira, aku-saya-gue-ai (terserah saya mau nyebut diri sendiri apa. Dulu-dulu sih ‘aku’, akhir-akhir ini ‘saya’, tapi untuk saat ini kayaknya pengen ‘gue’ aja. Because this post is classified to ‘ngoceh tegangan tinggi’. Biar mantep gitu, nge-feel. Tapi sepertinya nggak cocok juga. Nggak cocok dengan kepribadian saya yang kalem (?) Saya yakin kalau teman-teman saya baca ini akan protes. Tapi biar saja, iri tanda tak mampu. Intinya, saya lebih suka ‘saya’. Lebih romantis.) menjalani Praktik Lapangan Terbimbing di salah satu sekolah menengah atas. Untuk selanjutnya, kita  akan menyebutnya sebagai ‘PLT’. Setelah minggu sebelumnya, saya berada pada titik ‘ingin mlipir sakpole’. Bertanya pada diri sendiri, terus menerus, dan mungkin itu yang membuat berat badan turun seperti yang pernah saya ceritakan di sini. Oke yang terakhir itu alibi. Bahkan keresahan itu sempat saya ungkapkan lewat status Whatsapp yang berbunyi, “Apa saya memang tidak cocok jadi guru?”.
Bagi sebagian orang, tentu, pertanyaan itu adalah pertanyaan bodoh. Absurd. Nggak masuk akal ketika dilontarkan oleh seorang mahasiswa pendidikan semester 7 yang notabene siap ‘terjun ke lapangan’. Kasarnya, saya pasti akan diumpat, “Wingi-wingi kowe ngopo!? Ngalamun!!? Neg wingi wis mantep yo dilakoni. Dadi wong ki sing amanah!”
Ya itu pikiran orang. Bebas. Karena mereka tidak merasakan apa yang saya rasakan, jadi wajar. Terlalu banyak gejolak, konflik batin, perseteruan, dan kejadian-kejadian di dunia nyata yang membuat saya ‘tidak percaya pada diri sendiri’ bahwa saya memang layak jadi seorang guru. Segala justifikasi yang pernah orang lain lontarkan di masa lalu bahwa ‘kamu nggak cocok jadi guru’ terngiang-ngiang. Iya, fyi, dulu saya ngeyel… buandeeeelll banget. Nggak nurut dibilangin orang tua, guru, guru BK, dan siapapun! Of course, kuliah di jurusan pendidikan memang pilihan saya. Pilihan yang selalu saya bayangkan setiap malam menjelang tidur, dan selalu bisa membuat saya menangis karena tidak kuat lagi untuk menahan ‘rasa ingin’. Menjadi guru adalah pilihan saya sendiri di masa lalu. Bahkan sampai menutup hati pada pilihan yang lain. Ketika orang tua menuntut saya jadi macam-macam, saya tidak mau dengar.
Lalu seiring waktu berjalan, saya malah seperti itu? Tidak masuk akal? Bisa saja.
Bukankah hati manusia mudah terbolak-balik?
Jika adik-adik saya Jurusan Pendidikan Matematika (atau bahkan jurusan lain) membaca ini, sungguh… jangan ikuti mbakmu yang ababil ini.
Saya berterimakasih sekali pada teman-teman saya yang selalu menguatkan saya. Menguatkan dengan segenap upaya, bahkan dengan cara menjatuhkan sekalipun. Meski lewat sentilan-sentilan ringan, tapi puedesnya bisa ngalah-ngalahin tahu bulat. Padahal tahu bulat itu nggak pedes. Tapi beneran, ghaes. Temen-temen saya itu baik hati banget, saya beruntung pokoknya. Saking baiknya kadang suka nggak tega kalau mau nikung (?)
Sebenarnya saya hanya tidak bisa membayangkan kehidupan saya ketika jadi guru, rutinitas seharian penuh, sepekan, sebulan, seumur hidup. Banyak regulasi, banyak yang harus dilakukan dan dipatuhi. Sedang saya sadar bahwa saya adalah tipe orang yang ingin bebas. Pengen hidup dengan ketidakmonotonan. Saya senang ngajar, tapi mengajar dengan cara bersenang-senang. Ya itu bisa, kuncinya jadi guru yang professional. Bisa membawa kelas layaknya di ‘taman bermain’. Saya cuma bisa berandai-andai. Kapan pendidikan di negeri ini bisa menyenangkan… bebas mengeksplorasi apapun. Tak terbatas materi dan kepadatan alokasi waktu sehingga hanya mengejar ‘materi selesai tepat waktu’? Malah, inginnya saya habis ini berniat nge-volunteer saja. Pergi-pergi, gitu. Atau, sepertinya ngajar di homeschooling akan lebih menyenangkan. Atau di sekolah-sekolah dan Yayasan yang belajarnya di ruang terbuka. Namun tentu, berseberangan dengan keinginan-keinginan itu, ada urusan-urusan yang harus segera diselesaikan, masa depan yang harus jelas diarahkan, dan ada orang tua yang selalu menunggu untuk dibahagiakan. Ya begitu. Kita hidup ‘untuk’ dan ‘karena’ orang lain juga, makanya tidak bisa seenak sendiri. Hmmmm.
kelas idaman :")

Kekuatan, kerja keras, dan ganasnya pacuan waktu mengantarkan saya pada kesempatan ini: ngajar langsung di sekolah.
Minggu pertama di sekolah, lebih banyak observasi ke kelas, mengenali lingkungan, karakter anak, dan lain sebagainya. Lebih banyak diskusi dengan guru matematika yang ada di sana juga. Saya dan teman saya (yang sejurusan matematika), banyak diberi wejangan yang sangat berharga. Tapi kadang beberapa statement dari beliau-beliau membuat saya berpikir ulang. Misalnya saja, “Besok kalau ngajar harus bisa galak. Biar kondusif.”
Hati saya langsung menentang tentu saja. Karena saya tidak bisa galak (menggertak dengan nada suara tinggi), kalau sadis (menatap tajam, suara pelan, jelas, dan sengit) malah bisa. Dan itu tergantung situasi juga. Padahal saya sudah bertekad untuk menghancurkan image ‘guru matematika itu galak’. Memang saya akui, guru matematika itu memiliki resiko menjadi galak sangat besar. Tak lain karena kompleksitas materi yang terkadang perlu disampaikan dengan ‘tegas’. Bukan galak. Kalau nggak begitu, saya rasa siswa sulit paham. Ya pasti ada siswa bisa mengikuti meski suara gurunya lirih lagi lemah lembut, tapi untuk anak-anak dengan tingkat intelektual menengah atas yang hanya diberi bantuan sedikit saja bisa tahu apa yang harus dikerjakan. Perlu diketahui bahwa tegas tidak sama dengan suara keras lagi menggelegar dan penuh amarah. Tegas itu jelas secara artikulasi, tepat secara intonasi, pelan tak masalah asal terdengar, dan menyesuaikan frekuensi kecepatan berpikir anak. Kadang saya putus asa ketika menjelaskan dengan tegas-karena anak bersangkutan butuh penjelasan lebih- malah diprotes dan dibilang galak oleh orang tuanya. Bagi saya itu tidak galak, tegas. Ya gitu. Kadang, kita sudah berpikir bahwa kita tahu apa yang harus kita lakukan, tapi tidak untuk orang-orang luar.
Keinginan yang selalu saya pupuk adalah, saya pengen jadi guru yang humanis. Merakyat. Bisa memahami apa yang siswa mau. Tidak hanya menyelami otak, tapi juga hati. Tidak asal menjustifikasi, tetapi memahami.
Namun lagi-lagi, realita membuat aksi tak semulia keinginan.
Genap seminggu (lima hari tepatnya), saya membersamai anak-anak menjalani Penilaian Tengah Semester (PTS)-sebutan kekinian dari MID Semester. PTS ini bagi saya adalah ujian untuk diri saya sendiri. Ujian kesabaran, ketulusan, kelapangan dada, dan kesiapan mental untuk menjadi seorang guru.
Jika boleh jujur, sebagian besar (besar sekali) anak-anak sekolah yang saya hadapi memiliki karakter mencontek sangat akut. Saya tidak menjelek-jelekkan, tapi saya bicara realita. Perlu diingat bahwa sekolah ini hanyalah satu potret kecil dari sekian banyak komponen pendidikan di negeri ini. Tidak usah bicara soal nilai di atas KKM. Apa semua itu masih penting dibicarakan ketika anak masih tidak percaya pada dirinya sendiri? Masih menempuh berbagai cara untuk bisa ‘selamat’? Bangga dengan hasil jerih payah orang lain? Mengkategorikan hal yang buruk sebagai sesuatu yang ‘sudah biasa’? Bahkan tidak segan ‘menginjak-injak’ seseorang yang dengan tulus membimbingnya ketika di sekolah? Tidak peduli sedikitpun pada hati yang retak, teriris, sakit, air mata yang mengalir, keringat yang mengucur, mata berair yang berusaha dibelakakkan demi satu pertemuan singkat di kelas, bibir kering yang tak bosan menegur dan tak pernah absen merapalkan nama orang-orang-yang bahkan meludahinya saat bertemu, melihat wajah saja enggan- di setiap doa seusai sholat? Mendongak angkuh ketika disapa senyum, ketus ketika diingatkan dengan penuh sayang, mengumpat ketika ‘dirangkul dan digandeng’ ke jalan yang semestinya, bahkan membunuh tanpa belas kasih!? TERBUAT DARI APA HATI SISWA-SISWA YANG DEMIKIAN? COBA JELASKAN!
Sedih saya. Tapi saya tipe orang yang gampang putus asa ketika sudah kecewa. Putus asa. Menyerah. Angkat tangan. Bodo amat! Ya, mental saya memang selemah itu, mental bubur. Lembek! Diam saja sepertinya tidak akan menimbulkan masalah. Meski dalam diri saya sungguh sangat tidak tahan dan amat sangat menderita bersikap demikian. Karena tanpa sadar, mendiamkan situasi yang seperti itu berarti sedang membangun komunitas ‘preman’.
Dan hei, saya bukan orang suci yang belum pernah mencontek sedikit pun, selalu taat aturan, rajin, dan menebar perilaku positif kapanpun-dimanapun. Saya pernah bertanya waktu ujian, tapi saya timbang-timbang dulu sebelum ganti jawaban-yang pada akhirnya sering mengurungkan niat. Saya ingat dosa saya-satu, dua, tiga, bisa saya ingat dengan hitungan jari berapa banyak saya bertanya pada teman saat ujian. Tapi cukup dua tiga kali saja, karena kelakuan itu tak pantas saya lakukan. Saya sayang bapak-mamak saya, tak sampai hati ‘membohongi’ mereka. Pun saya pernah berkelahi, tapi lebih pada membela diri. Semasa SMA saya terkenal telatan, ngantukan, dan pernah mengecawakan guru-guru yang sudah percaya sama saya. Waktu SD saya pernah punya pengalaman buruk dengan mencontek, the worst experience in my life. Bukan, dulu saya bukan pencontek ulung lalu dihukum kemudian menyesal bukan. Saya dulu sekolah di Sekolah Dasar yang memiliki rangking bawah -bahkan hampir paling bawah- sekecamatan tempat saya tinggal. Waktu ujian nasional, wali kelas saya mensosialisasikan bahwa ketika UN, siswa yang nilai tryout-tryout-nya bagus diminta untuk membantu siswa yang nilainya jelek agar bisa lulus. Dulu, kelulusan siswa mutlak dari hasil UN. Bahkan waktu itu, sekolah sudah bekerja sama dengan pengawas ujian untuk ‘menolong masa depan’ anak. Oke. Fix. BOBROK!
Tentu, saya sangat kecewa dengan guru saya. Sepanjang ujian saya tidak bisa konsentrasi karena ‘melayani’ teman-teman saya. Saya tertekan. Sedih. Jengkel. Marah. Dalam pikiran saya waktu itu, saya terbayang jerih payah bapak saya buat nyekolahin saya, mamak saya, simbah saya, simbok, dan orang-orang yang harus saya banggakan. Saya pengen melanjutkan ke sekolah yang bapak saya pengen. Tapi saya nggak bisa kerja maksimal sama sekali. Ingin mengadu. Tapi bisa apa anak perempuan lemah usia kelas enam SD?
Alhasil nilai UN saya justru lebih jelek dibanding dengan tryout-tryout, saat teman-teman saya yang lain justru meningkat drastis.
Saya masuk SMP di kecamatan pun dengan nilai pas-pasan, hampir tidak masuk karena saya termasuk urutan bawah-bawah yang siap digusur kapan saja. Namun takdir selalu adil. Saya yang di awal masuk adalah ‘orang bawahan’ jadi nomor satu ketika keluar… kemudian masuk ke SMA yang Bapak saya mau tentu melewati proses yang tidak instan. Saya menyampaikan ini hanyalah sebagai bukti bahwa sukses hanya bisa diraih dengan kerja keras. Menjadi sebuah realita yang miris ketika ada siswa yang berargumen, “Sekarang kan yang lebih dihargai nilai mbak… mau nyontek, mau jujur, nggak ada bedanya. Daripada nggak bisa, minta diajarin malah dimarahi, dan dapet nilai jelek juga dimarahi, mending nyontek.”
Hmmmmm. Percayalah. Keberuntungan tidak akan pernah berpihak pada orang-orang yang curang.
Percayalah, saya bukan orang pintar, apalagi cerdas. Nyatanya saat saya nggak belajar, nggak bisa apa-apa dan dapet nilai jelek. Tapi Alhamdulillah, Allah selalu menggerakkan dan menyertai langkah saya untuk ‘kerja keras’ dengan jalan yang baik. Yang dengannya saya selalu dimudahkan dan dibantu.
Jika kelak siswa saya baca tulisan ini, BERHENTI MEMBOHONGI DIRI SENDIRI. Bagaimana kamu akan dihargai orang lain kalau kamu aja nggak ‘memberi harga’ pada dirimu sendiri!?
Ketika menjadi pengawas PTS pun, saya ‘berusaha’ sebisa saya. Di hari pertama saya beruntung karena dibersamai oleh guru yang sangat disiplin. Ancaman beliau, “Ketauan nyontek, lembar jawab saya sobek.” Kelas jadi kondusif kala itu. Akan tetapi pada jam berikutnya, ketika Bapak itu keluar, kelas jadi ricuh. Ya, awal-awal memang saya diamkan, sepanjang tidak mengganggu kelas sebelah. Tetapi tentu, semakin anak didiamkan, semakin ngelunjak. Ketika sudah mulai keterlaluan, baru saya ingatkan. Ketika frekuensi ‘nengok’ sudah melebihi batas wajar, segera saya tanyai. Ketika sudah mulai ada yang ‘jalan-jalan’ seenak sendiri, baru saya bertindak. Ketika dengan terang-terangan ada yang mengeluarkan ponsel, baru saya tegasi. Saya berusaha keras mengontrol diri agar emosi saya tertata dengan baik. Berusaha agar tidak terlalu berburuk sangka juga. Maka sebisa mungkin saya berhati-hati dalam memillih kalimat tanya dan perintah.
“Gimana?”
“Ada masalah?”
“Soalnya nggak jelas po?”
“Mau ngapain?”
“Kenapa mas?”
“Bisa duduknya yang bagus?”
“Ayo ini ujian, bukan kerja kelompok.”
“Kenapa kok jalan-jalan? Bisa duduk di tempat? Lembar jawabmu mana?”
“Udah selesai po?”
“Ya gek dikerjain.”
Dengan kalimat seperti itu saja saya mendapat balasan yang ‘lebih’. Saya sudah siap. Daripada hati saya tidak tenang karena menyalahi amanah. Saya rasa, saya sudah mewajarkan dan bertoleransi melebihi batas. Jadi boleh saja bukan saya ‘bertindak’?
Yang paling ‘tidak menimbulkan dendam’ oleh karena saya menegur adalah peristiwa ini:
Ada seorang anak laki-laki, penghuni meja paling belakang, jalan-jalan, alibinya meminjam alat tulis. Saya lihatiiiiin terus. Malah dia keliling kelas seenak sendiri. Jadi saya datangi lalu saya berondong dengan pertanyaan-pertanyaan. Apalagi mendapati lembar jawabnya berada di tangan teman lain. Sadis, begitu saya sempat dengar siswa putri yang duduk di meja sampingnya. Saya dengar anak yang saya datangi itu mengumpat ‘a*****g’ -dalam bahasa jawa. Tapi saya salut pada dia karena langsung menurut, tidak malah nyolot seperti kebanyakan siswa perempuan. Kebanyakan anak perempuan ketika ditegur malah balas sengak, tidak memberi hormat sama sekali. Mungkin efek sama-sama perempuan. Malah, saya jadi ngobrol dengan anak itu, dan teman yang di depannya-yang merupakan partner ributnya.
“Untung mbaknya baik.” Katanya yang membuat saya mengerutkan dahi, menengok ke belakang. Sebuah tanggapan PALING BEDA yang pernah saya dapat seusai ‘beraksi’.
Karena habis kejadian itu, saya menunggui di dekat mejanya.
“Baik? Dari mana?”
Oke sebelumnya asumsikan percakapan ini memakai bahasa jawa.
“Karena sebenarnya nggak punya wewenang to mbak? Cuma PPL doang? Kalau mau marahin gitu-gitu nggak bisa?” terang temannya secara lebih jelas.
“Kalau gurunya mempersilakan ya bisa-bisa aja,” Sudah meletup-letup kepala ini sebenarnya.
“Ya berarti harus izin Pak ----- dulu to?” balas anak itu.
Saya tidak mengerti arah pembicarannya. Saya anggap itu sebagai sebuah perhatian karena peduli pada ‘status dan wewenang’ mahasiswa PLT. Oke.  
Diomongin dibelakang, dinyinyirin, diumpat, diremehkan, tidak dihargai, kesemua itu selalu membuat saya gerah ketika mengawas. Sampai seusai ngawas, saya selalu merasa badmood, tidak doyan makan – tapi saya paksa. Mendengar teman-teman lain merasakan hal serupa membuat saya jadi punya kekuatan. Kata salah satu teman PLT saya. “Namanya juga jadi guru. Ya hal-hal kaya gitu justru yang bisa buat kita tahan banting.”
Lagi-lagi, saya justru semakin merasa tidak layak jadi guru.
Bagaimana saya mau merangkul anak-anak sedang saya ini orang yang pendendam? Tidak gampang marah-itu betul, tetapi sekalinya terpancing, tidak gampang melupakan.
Bagaimana saya mau menyampaikan materi dengan baik kalau saya saja belum bisa membuat anak-anak respect pada saya?
Berulangkali saya membisikkan pada hati kecil saya, “Nggak ada siswa nakal. Yang ada cuma hati kita yang kurang bersih dalam melayani.” Tapi nyatanya saya masih benci jika tidak dihargai sama sekali. Hati saya masih busuk!
Ini baru awal. Pembelajaran belum dimulai. Saya sudah seperti ini? Apa pantas? Membayangkannya saja saya tidak sanggup.
Dua hari yang lalu, dalam perjalanan menuju kampus seusai dari sekolah, saya merenung. Rasa-rasa dendam, benci, marah, yang sempat menggelayuti hati saya bergolak lagi. Berkumpul sehingga menjadi energi tersendiri yang membuat saya menangis.
“Saya pengen seneng-seneng sama anak-anak didik saya.” gumam saya waktu itu.
Iman dan hati saya masih lemah. Masih miskin dalam hal memaafkan, ikhlas, dan sabar. Tapi saya sungguh-sungguh ingin menemani anak-anak ini untuk keluar dari lingkaran ‘matematika yang sulit dan memberatkan’. Saya sungguh-sungguh ingin menghancurkan stigma-stigma negatif tentang matematika. Dan saya tidak sanggup melakukan itu sendiri. Saya butuh bantuan Yang Di Atas, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Bahkan saya lupa kalau yang mengendalikan hati dan sikap anak-anak didik saya itu adalah Dia. Parahnya, lebih memilih mengumpat ‘bngst’ daripada beristighfar. Calon guru macam apa saya ini? :”)


Jika teman-teman saya yang dari jurusan pendidikan dan sedang memperjuangkan hal yang sama membaca ini, saya pengen bilang, “Apa-apa yang disampaikan dengan amarah, akan diterima dengan amarah. Apa-apa yang disampaikan dengan pikiran yang jernih, akan diterima oleh pikiran secara jernih. Apa-apa yang disampaikan dengan hati, juga akan diterima oleh hati. Semangat belajar ikhlas dan berjuang sepenuh hati. Semangat terus ya kamu 😊

“Betapa bahagianya menjadi seorang guru yang tampil penuh kharisma dihadapan siswanya. Sosok guru yang selalu dirindukan kedatangannya, diamnya disegani, tutur katanya ditaati,  dan kepergiannya ditangisi.” (Anonim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER