[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia
Petang ini, saya terkapar tak
berdaya di ruang tengah. Letih. Bahkan mata saya sempat kunang-kunang dan bisa
merasakan aliran darah yang menyebar di sekujur tubuh saya sendiri, adem-panas kalau orang bilang. Mata saya
membuka, menerawang, karena ketika mencoba
menutup, kepala saya justru terasa pusing dan suara-suara nyaring berdenging
memenuhi gendang telinga, tak peduli bahwa saya tersiksa karenanya.
Akhir-akhir ini saya merasa otot-otot
saya begitu lelah, tengkuk-lengan-kaki, seluruh tubuh tanpa kecuali. Mungkin
kelelahan itu yang membuat berat badan saya turun, setelah sempat naik beberapa
hari sebelumnya. Entah apa korelasi antara kelelahan dengan turunnya berat
badan, tapi perlu dicatat bahwa itu hanya kemungkinan… oke? Hal itulah yang mengukir
kesedihan yang sungguh sangat dalam. Lebay? Tidak! Ini serius! Bagi saya,
kehilangan berat badan sekecil apapun sangat membuat saya sedih, karena saya
sudah bekerja keras untuk mencoba menaikkan berat badan. Kemarin, saya lega
bisa naik 1 kilogram lebih dalam kurun waktu satu minggu. Berkat keinginan kuat
dan kerja keras tentu saja. Tapi terakhir kemarin saya menimbang, turun 0,8 kg.
Bagaimana saya tidak sedih!
Saya utarakan kesedihan itu pada
salah seorang karib saya lalu dia malah bilang, “Lu mau berat badannya naik,
kan? Nahan pipis aja sampe jadi batu ginjal. Ada lho yang nyampe satu
kilogram!”
Dalam hati saya mengumpat, “Bajigur!”
Bukan, tulisan ini tidak membahas
detail program menaikkan berat badan yang saya jalani. Tapi, lebih dari itu.
Sialnya, keletihan yang saya
rasakan membuat badan saya sulit bergerak. Untuk sekedar bangun atau
menggerakkan lengan saja tak kuasa. Melihat Bapak masuk ruang tengah untuk ngiling wedang, kemudian saya bertanya, “Pak, nduwe gulo jowo?”
Saya ingat jaman sering tracking ketika aktif di Ambalan SMA,
selalu ‘disangoni’ atau membawa
sendiri secuil gula jawa atau sebotol air gula jawa. Obat lelah katanya, karena
mengandung glukosa yang dapat menggantikan energi di otot yang telah hancur
karena dipakai untuk beraktivitas. (?)
“Ndue,” Bapak saya singkat menjawab.
“Nandi?” tanya saya yang dijawab Bapak dengan ‘ra reti’ padahal jelas saya tahu kalau benda-benda semacam itu ada
di dapur. Tak sampai hati saya minta tolong karena mengingat, tidak semua
perintah Bapak saya patuhi. Alhasil saya tetap berbaring karena tidak kuasa
berjalan ke dapur, menengok kanan kiri untuk menemukan sumber energi walau
sedikit. Saya menemukan gula pasir, tapi tidak mungkin saya makan gula pasir
layaknya makan nasi. Di samping setoples gula pasir itu, saya menemukan buah
apel dan pir, di atas meja dekat karpet tempat saya terbujur. Saya raih buah
pir itu, tak peduli apakah itu milik bersama atau punya adik saya.
Sambil tiduran, sambil makan buah
pir, mata saya menerawang atap-atap rumah. Segala macam pemikiran memenuhi
kepala saya. Suasana rumah sakit yang pernah saya sambangi dua tahun lalu
terbayang lagi. Pelepasan PLT esok hari, dan pekerjaan-pekerjaan yang belum
saya selesaikan silih berganti berjejalan. Semakin yakin saya-untuk yang
kesekian kali, bahwa sehat itu anugrah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan.
Bukan… bagi saya sehat saja tidak cukup… bugar! Itu yang saya butuhkan.
Di tengah sayup suara adzan maghrib
yang menggema dari segala penjuru desa, saya teringat status teman SMA beberapa
hari lalu. Pada intinya, status itu menyinggung soal ketidakseimbangan yang ia
rasakan antara menghias diri, memperbagus penampilan, dan idealitas bentuk
tubuh dengan memperbaiki kualitas ibadah. Sontak saya langsung mengomen karena
merasa terpelatuk. Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri… keinginan saya
untuk menaikkan berat badan apakah memang benar-benar karena ingin sehat? Bukan
karena yang lain? Bukan karena faktor duniawi-yang terlihat di mata manusia?
Padahal meski saya kurus, saya kuat, angkat sana-sini masih bisa, ngangkat
galon (yang ada airnya penuh) sekalipun. Ke mana pun jalan kaki baik-baik saja.
Ke percetakan, beli ini itu, kegiatan sana-sini di luar kampus, dan ke mana pun.
Meski tidak fit (badan hangat, dan semacamnya), saya merasa biasa saja, masih
normal buat kerja. Malah teman saya yang protes. Karena sakit, bagi saya adalah
ketika tidak kuasa melakukan apapun. Apa yang salah?
Saya berusaha ‘gendut’ dengan minum
susu ini itu, jamu, suplemen tapi ujung-ujungnya bikin saya mager karena ‘eman’
tenaga… wqwq lucu.
Di sisi lain, benar kata teman
saya… apa saya peduli dengan rukhiyah saya?
“Mbah, but hal lainmu (upgrade
aqidah) ki berjalan. Unlike me,”
begitu jawaban teman saya saat saya berkomentar.
Saya jadi miris. Bahkan saya yang
sebusuk ini pun masih ditutupi aib-aib saya oleh-Nya. Kemudian saya jujur pada
teman saya, “Beneran, sekarang aku bobrok. Sholatku sekarang kek rutinitas
berdiri-ruku-duduk.”
Teman saya langsung membalas, “Ya
Allah mbah, kamu aja bilang gitu, apalagi aku. Kadang aku sedih kalau sholat.
Betapa aku sadar aku tu payah tapi nggak juga berubah.”
“Sama. Dan kadang ngelakuin dosa
tapi nggak merasa bersalah. Sudah membatu sekali hati ini.”
“Trueeee. Seperti ketika ada yang
lebih buruk dari kita, kita merasa akan fine-fine
aja, kek kalau banyak temennya gitu nggak apa-apa.”
Pernyataan teman saya itu membuat
saya menghela napas, tapi itu juga fakta yang tengah terjadi di hidup saya. “Tapi
aku sedih kalau misal orang lain, terlebih temen deket, menggampangkan sesuatu
sehingga tidak mempedulikan rambu-rambu. Sedih banget rasane. Tapi aku tipe
orang yang nggak bisa negur atau ngasih nasihat. Masih nimbang-nimbang, nanti
kalau semisal dia malah menjauh, aku nggak bisa ‘njagain’, atau… apa-apa yang
aku bilang udah nggak mempan. Jadi, cuma bisa doain.”
“Truuuuue. Lingkunganku banyak yang
gitu, mbah. Meh ngandhani, wis entek
atine sik. Aku sendiri belum bener, nggak layak ngingetin. Kadang cuma speechless sambil yah yoh kae saja,” lanjut teman saya.
Jujur saja, saya bukan orang yang
taat beribadah. Sholat saya-apalagi akhir-akhir ini, sudah tidak pernah khusyu.
Saya baca quran kalau ‘pengen’. Saya berdoa tapi nggak ‘menghadapkan muka’ ke
Yang Maha Kuasa. Pikiran, hati, dan perkataan masih kotor. Masih belum bisa
berbakti sama orang tua. Nggak sabar. Nggak ikhlas. Masih ‘doyan’ sama ‘bangkai
saudara sendiri’. Masih melalaikan sholat, bahkan beberapa kali meninggalkan
sholat isya karena kecapekan, sampai rumah langsung tidur! Dan anehnya saya
nggak merasa bersalah! Dulu sekali beberapa tahun lalu… saya merasa sedih, tapi
setelah yang ketiga… keempat… entah sudah berapa kali, saya biasa aja! Gemblung!
Kalau saya sebutkan satu persatu
keburukan saya… saya tidak bisa, saking butanya hati saya sama keburukan dan
kesalahan saya sendiri.
Pun saya tidak lahir di tengah
keluarga yang taat ibadah. Bapak saya orang entertainment,
dan Mamak saya buruh. Saya dulu dibesarkan oleh Alm. simbok (nenek) dan mbah
kakung (kakek), dengan pengalaman didikan orang ‘jaman mbien’… keras. Kalau ketahuan tidur-tiduran atau
santai-santai di saat rumah berantakan, baju, piring, gelas, dan alat-alat
dapur belum dicuci, dicacimaki dan dikatakan ‘anj*ng’ (dalam bahasa jawa) itu
masih biasa. Padahal waktu itu, saya masih SD.
Alm. Simbok saya semangat ibadah
dan belajar ngajinya kuat. Beberapa kali meminta saya untuk menuntun hafalan
yang bahkan saya sendiri belum hafal, tapi kemudian, lama-lama saya ikut hafal.
Kalau mbah kakung, masih belum sholat ketika itu. Tapi akhirnya karena Alm. simbok
tidak lelah untuk menasehati, mbah kakung sholat juga.
Ya begitulah saya, ilmu agama
pas-pasan. Ketaatan masih kurang-kurang. Tapi, saya justru beruntung. Saya
diberi kesempatan untuk ‘kenal’ Tuhan saya karena perjalanan hidup saya
sendiri. Berulangkali saya tersesat, Dia masih saja mengasihi saya.
Mengingatkan saya. Pernah saya sedang dalam masa ‘tersesat’ cukup jauh, lalu
Dia tiba-tiba memberhentikan saya di depan masjid dan membuat kaki ini
melangkah masuk padahal niat saya mau sholat di kos. Dia buat air mata saya
bercucuran ketika sholat ashar dan saya seperti didekap kembali setelah sekian
lama ‘berjalan jauh’.
Naik turunnya iman itu cobaan. Saya
sering sedih kalau ada orang yang saya sayangi, jauh bahkan menentang apa yang
Dia kehendaki. Tidak usah jauh-jauh, Bapak saya sendiri. Dulu ketika pertama
kali saya mengenakan jilbab (selain ke sekolah), kelas 8/9 SMP kira-kira, Bapak
saya menyindir, “Orang baik itu nggak
harus pake jilbab, kok.”
Sedih saya. Tapi saya nggak berani
berkomentar apa-apa. Dan tidak hanya berhenti di situ, segala larangan-larangan
silih berganti dilontarkan. Mau ngapa-ngapain seperti dipersulit. Mulai kaos
kaki, dobelan celana panjang, melarang saya ikut kajian, kelompok-kelompok,
perkumpulan yang berbau agamis, apapun! Saya cuma bisa berdoa waktu itu.
Sekarang?
Bahkan intensitas ibadah Bapak saya
lebih rajin daripada saya. Bukan berarti waktu dulu saya lebih baik dari Bapak
saya, bukan. Sekarang rajin sholat tepat waktu, dan rajin ngaji. Bahkan Bapak
yang sekarang mengingatkan saya soal tadarus, sholat, dan semacamnya. Sejak
saat itu saya merasa, doa panjang saya selama bertahun-tahun ternyata didengar
dan dikabulkan.
Saya bukannya mau menceritakan aib
Bapak saya, tapi saya justru ingin memperlihatkan proses… dan juga, kekuatan
doa. Karena sekali lagi, entah mengapa, saya selalu tidak kuasa menasehati
orang. Kecuali kalau orang itu benar-benar ‘menyerahkan hatinya’ untuk saya
beri saran. Sering saya sedih ketika teman, sahabat, adek-adek, dan siapapun
yang saya sayangi berkomentar tentang orang, kelakuan, atau budaya yang
‘agamis’ kemudian mengatakan ekstrim dan semacamnya… walau saya juga orang yang
biasa-biasa saja, tapi bukankah kita tidak tahu yang benar itu yang mana? Boleh
jadi orang itu sangat mulia di hadapan Allah. Ketika kita mencela dia, kok
tidak takut? Padahal segala sesuatu itu pasti dipertanggungjawabkan. Saya tidak
pernah berani menyahuti jika pembicaraan sudah merambah ke hal itu. Ya, selemah
itu iman saya. Iman paling lemah, kalau kata Rasul. Saya sedih, tapi cuma bisa
mendoakan. Bahagia adalah ketika satu persatu teman-teman yang saya doakan itu berprogress ke arah yang lebih baik,
meski saya begini-begini saja. Saya sayang, makanya saya doain.
Kalau teman-temen saya baca tulisan
ini, saya pengen bilang, “Saya sayang kamu. Saya pengen ketemu kamu di
surga-Nya Allah, suatu saat nanti. Saling mengingatkan, ya. Saya juga masih
banyak cacat btw. Semangat bareng!”
Komentar
Posting Komentar