[ Ngopini ] : Justifikasi Bisa Melukai. Anda Merasa Suci? Baca Ini!

Dua hari yang lalu, saya memposting story Whatsapp yang intinya berisi beberapa fakta yang dimiliki mahasiswa calon guru matematika untuk melawan mitos: guru matematika adalah guru paling galak sedunia. Sontak beberapa adek saya-sebut saja murid saya ketika PLT kemarin, dan juga beberapa teman saya mengomentari. Sebagian besar bilang bahwa mitos itu bukan sekedar mitos, tapi memang benar adanya. Sebuah kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pengalaman mereka selama ini. Namun tentu saja, kesimpulan itu tidak bisa diatasnamakan secara global, karena guru-guru yang mereka temui hanya sekedar sampel.
Apa, sih. Sok-sok matematis.
Oke, serius.
Jadi ada satu jawaban dari seorang murid yang membuat saya agak berpikir dan merenung. Fyi murid saya waktu PLT kemarin adalah murid SMA.
Dia berkomentar, “Kalo buat mbak Rini mitos, tapi kalau buat yang lain fakta.”
Hmmmm. Dengan cepat saya membalas, “Lho, don’t judge the book by its cover, dek.”
“Kenyataan kok, mbak,” katanya ngeyel.
Saya jadi ingat segala kejadian yang saya alami di kelas adek ini. Memerlukan perjuangan yang ‘tidak biasa’ dalam bertahan. Untuk sekedar mau didengar saja, harus menyiapkan tenaga cukup, siap bercucuran keringat, hati yang lapang, tegar, dan siap akan segala kemungkinan. Apakah saya berlebihan? Tidak sama sekali. Minimal itu adalah usaha yang saya lakukan, karena saya belum cukup profesional dan kompeten untuk menangani segala problema peserta didik di kelas. Jujur, dulu saya sempat tidak kuat. Bahkan kelas ini memberi pengaruh pada perbesaran keinginan untuk melipir. Tidak sanggup, batin saya waktu itu. Namun saat mengingat atau membayangkan murid-murid lain di kelas ini yang benar-benar menghargai keberadaan saya, mau mendengar, antusias, tanya ini itu, termasuk adek ini… walau perhatiannya hanya sekadar bilang dengan jujur, "Mbak gimana to? Binguuung. Ulangi - ulangi." saya jadi semangat lagi. Tidak pantas perasaan-perasaan putus asa merusak hati-hati bersih yang mau bersungguh-sungguh untuk belajar.
“Wqwq soale beban guru matematika itu berat dek. Jadi bawaannya marah-marah,” ungkap saya setengah curhat.
Lalu adek itu menjawab, “Mbak Rini nggak pernah marah tu.”
Sebuah jawaban yang membuat saya tidak membalas cukup lama. Bukan karena saya terlalu sibuk sehingga tidak sempat membalas, tapi karena bingung dalam menyusun kalimat jawab yang tepat.
Mungkin bagi sebagian orang kalimat itu biasa-biasa saja. Tapi bagi saya, yang pada saat ini sedang berada di titik penat, resah, suara hati melemah, dan sering disergap amarah (sebagai perempuan, sudah pasti paham perasaan rutin semacam ini), kalimat itu semakin membuat saya sedih dan runyam.
“Alhamdulillah... Mbak masih dikaruniai sabar berarti, dek,” jawab saya dua jam kemudian.
Karunia. Bukankah itu adalah satu kosa kata yang tepat?
Manusia bisa sabar, bisa bersikap baik, bisa lemah lembut, dan membuat orang-orang di sekitarnya senang adalah sebuah karunia. Tidak serta merta dari dirinya sendiri. Ada Dzat yang membuat hati dan perilakunya bersikap demikian.
Saya jadi ingin bercerita pengalaman saya waktu sekolah dulu.
Pada masa SMP, saya menjadi seorang siswa yang idealis; sungguh-sungguh, disiplin, dan selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang tidak mengecewakan. Yang saya pikirkan waktu itu hanya belajar, berjuang, dan membanggakan orang-orang yang saya sayang. Ambisi saya sangat besar akibat merasa didzalimi ketika SD (baca cerita tersebut di sini).
Di kelas, saya punya seorang teman laki-laki yang hobi tidur, selalu terlihat malas-malasan, sering telat, dan kadang nggak masuk tanpa kabar. Padahal dia termasuk anak yang tidak bandel. Bahkan dulu ketika SD, pada beberapa kesempatan, kami kerap bertemu dalam lomba di tingkat kecamatan (karena SD kami berbeda), bahkan satu kelas ketika mendapat fasilitas bimbel gratis di salah satu lembaga bimbingan belajar di kecamatan. Pikir saya waktu itu, “Kok dia gitu, sih. Kerjaannya ngapain coba?"
Yah, seidealis dan seambisius itu saya dulu. Hingga heran melihat anak-anak yang terkesan tidak sungguh-sungguh untuk sekolah.
Dan ketika SMA, Dia membuat hidup saya jadi semacam dia-teman saya yang saya herani itu. Dia memberi pelajaran pada saya secara langsung. Memahamkan sesuatu pada saya dengan membuat saya menyelami secara nyata kehidupan 'seorang siswa yang untuk berangkat sekolah saja butuh perjuangan'. Seorang  penglaju, pekerja keras, penunggu setia bus reot apek penentu kehidupan banyak orang. Pagi-pagi harus bersepeda sekitar 2 KM terlebih dahulu sebelum bisa sampai di tempat pemberhentian bus. Tidak boleh telat sedikitpun. Si benda besar tak peka itu kadang datang tak tentu, bisa lebih pagi, bisa lebih siang. Jika lebih pagi dan anda telat datang, selamat. Anda dapat kesempatan bertemu dengan seorang guru piket yang tak menerima alasan telat jenis apapun. Dan bersiaplah menerima hukuman tak terduga. Jika lebih siang, ya… jantung akan berpacu sepanjang jalan.
“Rini?? Tumben nggak telat!” sebuah seruan yang kerap kali saya dapat dari teman-teman ketika berhasil mendaratkan diri sebelum pukul 07.00 WIB. Tentu, saya hanya cengengesan menanggapi seruan mereka.
Maka, saya menjadi salah satu yang tersendir ketika waka kesiswaan mensosialisasikan kebijakan ‘Jas untuk Anak Telat’. Penjelasan beliau waktu itu, “Karena perlu diketahui, setelah kami lihat, yang telat ternyata cuma itu-itu saja.”
Memang benar, teman-teman saya ketika telat itu-itu saja. Ajaibnya, sepanjang sejarah setelah kebijakan itu disahkan, saya tidak pernah memakai jas anak telat yang bikin ilfeel di kalangan siswa SMA-yang katanya paling favorit se-kabupaten tempat saya tinggal. Antara 'saya terlalu telat' sehingga tidak bertemu dengan guru penjaga anak telat atau saya kembali telat ketika kebijakan itu sudah tidak diberlakukan.
Kadang pun, saya tidak masuk sekolah karena alasan yang sepele :1. Tidak dapat bus sampai melebihi batas wajar (dalam dunia perbusan, perlu diketahui bahwa tawaran sewa untuk tamasya, keliling - keliling kota, pengajian, dan semacamnya lebih menjanjikan daripada kesana kemari mengangkut orang yang jumlahnya tak pasti. Karena kehilangan 2-3 bus sangat berpengaruh terhadap keamburadulan jam kedatangan). 2. Tidak punya uang saku buat naik bus. Kalau yang kedua, seringkali bisa dimanipulasi dengan alasan sakit karena tentu, orang tua sudah memberi aba-aba sebelumnya.
Dulu pernah terjadi sebuah kejadian saling mengejek di kelas. Saat itu, saya diberondong oleh teman-teman saya karena hari sebelumnya tidak berangkat tanpa kabar oleh karena alasan pertama. Ternyata waktu itu ada teman saya lain yang tidak berangkat. Alasan teman saya: terlalu sedih oleh karena habis kemalingan laptop. Bagaimana tidak? Baginya, laptopnya adalah segalanya. Ingat sekali dia dulu nyarger di mana pun dan kapan pun. Ndeprok di dekat colokan listrik bersama kekasihnya tak jemu-jemu.
"Kowe ngopo e wingi ra menyang?" tanya salah seorang teman saya.
"Jujur yo, aku wingi ra oleh bus," jawab saya akhirnya mengaku.
Sontak teman saya yang di hari sebelumnya sama-sama tidak berangkat ngakak dan berseru sampai terdengar hampir semua penghuni kelas, "HAH?? KOWE RA MANGKAT SEKOLAH MERGO RA ETUK BUS??! RA MUTUUUUU! YA MENDING AKU, RA MANGKAT SEKOLAH MERGO BAR KEMALINGAN LAPTOP!"
Serta merta, teman-teman saya langsung berseru, "YO MENDING DEE LAH! NEG RA ETUK BUS YO RA ISO MANGKAT. LHA KOWEEE?!!"
Ya… keberuntungan saya yang ke-sekian : saya punya temen-temen yang sayang dan pengertian sama saya.
Pun ketika di kelas, saat kelas 11 terutama, kerap saya merasa mengantuk dan bosan saat pelajaran, serta tidak mengerjakan tugas dan belajar dengan maksimal, sampai beberapa guru yang sebelumnya sudah tahu performa saya di kelas 10 kecewa. Dengan jelas beliau-beliau bilang dengan dahi berkerut,
“Kok nilai-nilaimu jadi turun gini to!? Kenapa?”
“Kok kamu sekarang ‘kaya gini’ e, Zayn?”
Dinamika prestasi akademis pasti pernah dialami semua siswa. Ada masanya seseorang berada di atas, menjadi kebanggaan. Namun ada juga suatu masa saat seseorang itu menjadi seseorang yang mengecewakan, tak bisa diharapkan… pecundang!
Segala kejadian-kejadian di atas hanyalah sekelumit dari sebuah cerita panjang yang belum terungkap. Secuil akibat dari sepintas pikiran negatif yang harus saya tanggung selama tiga tahun, bahkan sampai sekarang.
Saat menghadapi kondisi yang demikian, saya teringat teman SMP saya itu dan sontak langsung berbisik, “Aku saiki ngrasakke pie dadi kowe mbien, Sal.”
Dari sini saya belajar bahwa selalu ada alasan mengapa seseorang bersikap, bertindak, dan berperilaku tertentu. Jadi ketika bertemu seseorang yang mungkin tidak sesuai dengan prinsip kita… pahami. Minimal jika tidak bisa, diam. Karena pemikiran, bahkan perlakuan kita ke orang lain sekecil apapun… pasti Dia notice. Sungguh.
Saya jadi ingat komentar teman SMA saya di postingan Instagram saya yang terbaru. Sebuah postingan mengenai video opening inagurasi cerita PLT saya. Komentarnya, “Aku selalu menganggap guru SD-ku adalah pahlawanku. Semangat terus, Rin. Bahkan kadang aku khawatir jika anakku nanti tak kan menemukan guru SD sehebat guruku. Tapi itu dulu sebelum aku kenal kamu.”
Sebuah penghargaan yang mengharukan di hari guru, untuk saya. Namun di lain kenyataan, sesungguhnya saya merasa sangat miris. Di keadaan saya yang sedang ‘terperosok’ seperti ini-dalam keadaan lemah luar-dalam-lebih tepatnya krisis nurani.… Dia masih menutupi aib-aib saya.
Kata siapa saya nggak pernah marah?
Kata siapa saya ini penyabar?
Kata siapa saya ini baik?
Kata siapa saya ini patut menjadi harapan semua orang?
Semua itu hanyalah kamuflase dari keburukan-keburukan yang saya miliki-yang Dia tutupi dan dapat Dia buka sewaktu-waktu ketika saya bertingkah ‘macam-macam’.
Ya Allah… Engkau masih begitu sayang kepada saya ternyata… padahal Engkau begitu jarang menjadi satu-satunya Yang Bertahta di hati  ini. Sebusuk ini, masih saja Engkau datangkan orang-orang yang menganggap saya ini baik sehingga mau berteman dengan saya.
Ya, tidak ada orang yang sempurna dan selalu diliputi kebaikan kecuali Dia tutup segala keburukan-keburukan yang dia miliki sehingga dicintai banyak orang.
Saat di kelas adek yang saya ceritakan tadi, tentu. Saya pernah merasa marah. Tapi saya simpan. Di kelas lain malah, saya pernah merasa sangat marah sampai membuat saya ingin segera meninggalkan kelas itu. Saya menangis di basecamp, di samping partner saya. Entah mengapa, setiap saya marah, saat itu juga saya ingin menangis. Saya menangis karena kesal dengan ‘diri saya yang merasa marah’. Di sela-sela tangisan itu, saya bilang, “Aku nggak mau jadi guru...”
Seputus asa itu keadaan yang sesungguhnya saya alami.
Kepercayaan ‘tidak ada kebaikan yang sia-sia’, ‘selalu ada alasan seseorang bersikap tertentu, kita tidak tahu sehancur apa keadaan yang ia hadapi’, atau ‘Dikecewakan? Mungkin kamu pernah mengecewakan. Diremehkan? Mungkin kamu pernah meremehkan. Tidak dihargai? Mungkin kamu pernah tidak menghargai. Disepelekan? Mungkin kamu pernah menyepelekan. Selalu ada sebab dari setiap akibat.” selalu saya dengungkan sebagai sebuah kekuatan. Saat sekadar ‘berusaha memahami’ tidak mendatangkan penyelesaian masalah sama sekali, saat itulah saya merasa putus asa. Setelah sampai di titik itu, biasannya saya ngobrol dengan teman PLT yang lain – belajar untuk menjadi setangguh mereka. Atau sharing pengalaman dengan teman-teman saya yang juga ditempatkan di sekolah yang ‘istimewa’. Sampai membuat saya sadar, bahwa ada yang lebih tersakiti, tertatih dalam berjuang, dan lebih berat cobaannya.

Dan lagi.
Kerap saya mendengar beberapa curhatan atau keluhan yang berbunyi.
“Perasaan aku dulu waktu jadi murid, nggak gitu-gitu amat.”
“Kok staff-staffku gini banget to. Kayaknya pas jadi staff aku nggak gitu banget sama kabidku.”
“OMG. Tu orang mikir nggak sih?!! Suka kok sama pacarnya temen… Nggak punya otak!”
Pernah merasa risau karena gadget lebih menarik siswa-siswa kita daripada penjelasan yang kita sampaikan? Periksa lagi… apa memang cara mengajar kita dalam menyampaikan materi benar-benar menarik dan layak untuk didengar?
Atau… ingat lagi. Waktu bosen sama dosen, nggak pernah tergoda buat buka gadget sedikit pun?
Kesulitan yang kita hadapi sebenarnya hanyalah akumulasi dari kesalahan-kesalahan kita terhadap orang lain. Jadi kalau merasa kesulitan dalam menghandle anak-anak buah /staff/semacamya … mungkin kita pernah bersalah sama kabid kita tanpa kita sadari. Atau bersalah dengan orang lain yang tak sengaja kita buat kesal. Atau pada aa’ burjo yang kita omelin gegara makanan yang diantar tidak sesuai pesanan. Atau pada orang tua kita. Atau pada Tuhan kita.
Masih merasa tidak bersalah sama siapa pun?
Atau saat berapi-rapi dalam menghujat perilaku orang, pernah berpikir bahwa kita besok bisa di posisi orang itu?
“YA NGGAK MUNGKIN LAH! SECARA GUE TU PUNYA OTAK!”
Hmmm. Ternyata sesombong itu manusia. Sampai lupa bahwa otaknya bukan miliknya.
Jadi.
Hati-hati saat menjatuhkan justifikasi. Kita tidak tau seberat apa beban hidup yang dia jalani.
Hati-hati saat menghakimi orang lain. Tidak ada yang menjamin kita akan selamanya terhindar dari kesalahan yang orang tersebut perbuat.
Hati-hati saat membenci orang lain. Boleh jadi dia adalah orang yang sangat kita butuhkan di masa depan.
Tidak ada yang bisa menjamin manusia bisa baik selamanya. Pun tidak ada yang tahu orang yang dicap buruk oleh orang-orang di sekelilingnya ternyata seseorang yang mulia di sisi-Nya.
Apa manusia masuk surga itu murni karena kebaikan-kebaikan yang kita lakukan?
Bukankah semata-matanya karena ridha-Nya?
Semua orang baik belum tentu Dia ridhai, tapi orang-orang yang Dia ridhai pasti orang baik.
Apa begitu…?


Bantul, 28-29 November 2018.
Yang selalu sayang kamu,

Ansito Rini

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER