[ Ngoceh ] : Soal Kejenuhan, Pernikahan, dan Kesendirian
Dua minggu yang lalu tepatnya
satu hari sebelum tanggal 1 Oktober, teman saya yang sama-sama suka nulis dan
sering berpacu dalam hal tulis-menulis menantang saya untuk mengadakan program
untuk diri sendiri ala-ala InkTober. Nulis di blog selama sebulan penuh,
katanya. Membayangkannya saja saya seperti ingin gumoh. Karena sampai sekarang pun, motivasi saya nulis hanyalah
‘pengen’, atau ‘ngebet ingin menyampaikan sesuatu’. Kalau untuk sesuatu yang
mengikat, saya angkat tangan. Bahkan program #7HariBerkisah yang selalu saya lakukan
tiap akhir semester, kemarin tidak terlaksana. Mungkin energinya sudah habis
buat nulis #MembunuhPerasaan. Tapi saya berjanji pada diri saya sendiri tidak
akan membiarkan #7HariBerkisah musnah begitu saja.
Singkatnya, sehari setelah teman
saya menawarkan program tersebut, dia langsung membagikan link postingan
barunya. Gercep, batin saya. Langsung
saja saya meluncur dan membaca tulisannya karena kebetulan saya butuh hiburan
waktu itu. Coba baca, tulisan teman saya ini seringkali ringan tapi dalem.
Jenaka tapi menyentil. Soal “bosan” dia tuliskan. Sebuah sensasi yang juga
tengah saya rasakan, bahkan beberapa hari yang lalu perasaan ini mengronis sampai
pada level akut. ‘Jenuh’ saya menyebutnya.
Akhir-akhir ini saya merasa hidup
saya stuck. Penuh gejolak (karena
sebenarnya ada banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan) tapi monoton.
Penuh tekanan tapi tidak menantang. Ingin ‘cari sensasi’ tapi tidak bersemangat
sama sekali. Gitu-gitu aja. Jenuh. Hanya kata itu yang mengendap di pikiran
saya sampai entah sudah berapa kali saya lontarkan kata itu pada teman saya.
Saya butuh ‘keluar’ tapi situasi dan kondisi sangat tidak memungkinkan.
“Rin, teh e kui neg arep,” sela bapak saya di tengah lamunan pada
suatu pagi.
Saya berdiri, meraih secangkir
teh, dan kembali mendudukkan diri di karpet ruang tengah. Pelan saya teguk teh
hasil seduhan bapak. Pelan sekali, sampai membuat saya sempat melamun. Kapan kamu begini terus? Diladeni orang tua
karena kalah gercep dalam bangun tidur dan melakukan segala hal? Kapan kamu itu
bisa diandalkan? Dikira umurmu masih bocah?
Pertanyaan terakhir… ya, tentu. Sebesar
apapun saya, pasti akan tetap bocah di mata orang tua saya. Menyedihkan sekali
ketika menyadari bahwa ternyata niat yang sempat terlintas setelah KKN-bangun
pagi-pagi sekali buat masakin seisi rumah, ngangsu,
dan bersih-bersih rumah sebelum beraktivitas-hanyalah sebuah wacana yang berakhir
tragis. Realitanya, saya selalu bangun tidak lebih pagi dari bapak-mamak dan keteteran dengan persiapan saya sendiri.
Baru setelah saya siap berangkat tapi malah Bapak saya sedang sibuk dengan
urusan lain, saya pasti mendesak setengah kesal, “Geg ayo, Paaak!”
Dalam perjalanan menuju sekolah
tempat saya melaksanakan Praktik Lapangan Terbimbimbing (PLT) itu, meski
pandangan mata saya jatuh di bahu bapak, pikiran saya diterbangkan oleh
berbagai pertanyaan. Kapan berhenti
ngrepotin orang tua? Mau dianter ke mana-mana sama Bapak sampai kapan kamu?
Mbok usaha… membiasakan diri ngapa-ngapain tanpa nyusahin orang tua… bisa?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu
tertahan di tenggorokan, membuat leher saya seperti tercekik. Nggondok, orang jawa menyebutnya. Kalau
sudah seperti itu biasanya saya langsung berhalusinasi dan mengeluh, ‘Kamu kapan dateng to, Maaas? Bapak udah
capek nganterin saya ke mana-mana… kamu kapan mau gantiin?’
Lalu sisi rasional saya menampar
imajinasi itu keras-keras sambil berteriak, ‘Mbok
pikir bojo ki tukang ojek!!’
Sudah menjadi perbincangan publik
bahwa saat ini banyak perempuan/wanita/kaum hawa yang ingin menikah hanya
karena jenuh dengan rutinitas kuliah/menjadi seorang anak. Atau karena ingin
melepas lelah. Atau tidak sanggup lagi menghadapi tanggung jawab yang tengah
diemban. Atau segala alasan yang sesungguhnya dilatarbelakangi oleh kejenuhan
dalam menyendiri. Banyak dari mereka mengeluh dan berpikir bahwa ‘nikah’ adalah
jalan pintas yang sangat tepat lagi solutif untuk keluar dari berbagai masalah.
Fenomena ini kemudian ditanggapi keras oleh para kaum rasionalis, “Bosen yo refreshing. Ngantuk yo turu. Sayah yo leren. Kesel kok njaluk rabi. Ra
mashooook!”
Jujur saja, saya juga pernah
berpikir seperti itu. Saat saya sedang punya masalah dengan orang-orang
tertentu-bersitegang lebih tepatnya-sampai membuat saya emosi dan berteriak
keras-keras dalam hati, “Pengen geg ndang
rabi!” Karena dengan begitu, saya akan pergi jauh-jauh dan terbebas dari
orang-orang tersebut. Namun saya sadar dan cukup tahu, pikiran itu hanyalah
milik orang-orang lemah lagi mudah putus asa.
Beberapa tahun yang lalu-entah
sekarang masih atau tidak, nikah muda menjadi topik yang ramai diperbincangkan
dan menjadi cita-cita banyak orang. Begitupun orang-orang bahkan teman-teman di
sekeliling saya. Kajian pra nikah mendadak seperti sebuah kampanye yang mampu
meraup masa sedemikian banyak. Tiba-tiba segala jenis wanita menjelma jadi
sosok yang menye. Liat public figure
atau bahkan temen sendiri nikah di usia muda, baper. Liat eksplore Instagram nemu postingan pasangan muda yang habis nikah,
baper. Lihat timeline pasangan suami-istri
yang lagi fresh, baper. Diduluin
bapak-ibu yang jalan diikuti anak-anak banyak, baper. Baca caption atau quote soal
jodoh, baper. Ditanyai nama, baper. Disenyumin, baper. Dibaikin, baper.
Digombalin, baper. Itu perasaan terbuat dari tape apa lemper?
Ketika teman-teman saya
bersemangat untuk ikut kajian pra nikah, atau hanya sekadar beli buku-buku
berbau nikah, saya hanya cengo-melihat sekeliling saya dan bertanya, “Apa hanya gue di sini yang nggak interested sama sekali?”
Pada waktu itu, saya masih cuek
soal jodoh, pasangan, apalagi nikah. Segala perbincangan mengenai hal itu amat
sangat saya hindari. Malas. Banyak hal lain yang harus dikejar dan dilakukan.
Kerap saya merasa benci setiap kali kumpul keluarga lalu topik pembicaraan
menyerempet ke hal-hal yang demikian. Bagi saya, nikah adalah sesuatu yang
belum pantas saya bayangkan. Nikah itu bukan hal sederhana dan gampang. Dipikir
setelah nikah, hidup beserta masalah-masalah kita akan end? Berakhir happily ever
after? Nikah adalah satu komponen besar dari sistem hidup yang sangat
kompleks. Tidak pantas saya buru-buru menginginkan status itu padahal saya
belum ‘belajar’ apa-apa. Itu pemikiran saya, dua tahun yang lalu… atau bahkan
mungkin, sampai sekarang?
Pernah saya dicurhati seorang sahabat
yang kerap menjadi ‘korban nyampah’ temannya. Ceritanya, teman sahabat saya itu
punya pasangan dan kerap bermasalah, lalu biasa mengeluh ke sahabat saya-yang
notabene seorang jombles alias jomblo ambles. Tentu, yang namanya
manusia punya titik jenuh. Tiba suatu saat di mana sahabat saya merasa kesal
dan muring-muring, “Gene ki kongono wae gampang nesu!
Sitik-sitik sensi, sitik-sitik ngambek, sitik-sitik gelut. Gitu aja pengen
buru-buru nikah. Bakal gimana uripmu, hah?!!”
Mendengarnya, saya bukannya
meredam malah tertawa dan tambah mengompor. “Lha
yo to?! Dipikir nikah tu cuma modal cinta? Akakakak makan tu cinta!”
Jika pembicaraan itu diteruskan,
maka biasanya hanya akan berujung pada keinginan untuk mengumpat. Karena takut
dosa, saya dan sahabat saya biasa melampiaskannya dengan berseru, “WEDANG
BAJIGUR!”
Konyol. Tapi sungguh-sungguh
terjadi.
Dulu, saya pernah ikut kajian
soal “Gadget untuk Anak”. Saya punya adik yang hidup di lingkungan teman
bergadget dan sudah mahir soal mengeksplorasi isi ponsel. Tentu saya khawatir.
Maka saya berusaha datang di kajian itu karena merasa butuh. Pembicara kajian
tersebut adalah seorang ibu, tokoh, dan aktivis parenting yang sangat peduli dengan dunia anak. Beliau mengkritisi
fenomena yang tengah melanda kawula muda pada saat itu, “Saya tu bingung. Sekarang, banyak anak muda yang berbondong-bondong
ikut kajian pra nikah. Walaaahhh… jamaahnya tu masyaAllah sampe penuh saking
banyaknya. Sampe heran saya. Tapi coba liat waktu kajian parenting. Sepi, mbak.
Perbandingannya jauh. Apa artinya? Ini menunjukkan bahwa pemuda kita sangat
bersemangat untuk mencari tahu bagaimana menjadi istri yang baik… suami yang
baik… tapi lupa mencari tahu gimana jadi orang tua yang baik.”
Menyaksikan apa yang tengah
terjadi sekarang ini, saya jadi pengen ber-hmmmmmm selama 10 jam.
Oya, satu lagi. Saya jadi ingat sebuah
kejadian dua minggu yang lalu. Sebuah percakapan yang membuat saya agak tidak
senang. Kira-kira jika di-flashback
seperti ini.
Saya bersama mamak, adik, dan
om-tante beserta anak-anaknya menjenguk sepupu saya yang habis dari rumah
sakit. Akibat kecapean dan terlalu keras dalam bekerja, sepupu saya yang dua
bulan sebelumnya melangsungkan resepsi pernikahan tidak jadi punya momongan.
Sebagaimana biasa, obrolan kami berlangsung hangat, meski ribut. Lalu
pertanyaan yang tidak saya inginkan akhirnya dilontarkan om saya, “Jadi gimana? Kapan nyusul?” tanyanya
dengan wajah serius menghadap ke arah saya.
Tanggapan saya tidak berubah;
mengerutkan kening seraya menjawab garing. Om saya malah meneruskan, “Lha gimana? Udah punya calon belum? Tak
cariin po?”
“Opo sih, om!” saya menyeru kesal sambil membuang muka.
Om saya tidak mau kalah, “Lho lha sekarang tak tanya… umurmu tu
berapa, hah?”
“Masih 21 ki,” jawab saya enteng.
“Jalan 22,” mamak saya malah menambahi.
“Lha kamu berapa, Nur?” tanya Om pada sepupu saya yang dijawab
dengan ‘24’. “Dua tahun tu cepet.”
Lalu saya pura-pura tidak dengar dan
cari-cari kesibukan dengan memakan hidangan yang ada di atas meja. Batin saya
kala itu, ‘WEDANG BAJIGURRRR!’
Bohong jika saya mengaku tidak
ingin bertemu jodoh saya dengan segera. Bohong jika saya tidak pengen
cepet-cepet nikah setelah lulus. Bohong jika saya tidak butuh pasangan,
bertingkah seolah saya wanita superpower yang bisa mandiri tanpa laki. Segala perasaan
benci yang timbul setiap kali ada yang mencoba mengusik perkara ‘hati’ hanyalah
sebuah gengsi. Namun meski demikian, ada keinginan besar yang membuat saya mampu
meredam segala keinginan-keinginan itu dalam-dalam. Saya punya orang tua yang
belum pernah saya ‘beri’ apa-apa, sampai sekarang masih sering saya repotkan.
Sungguh sangat tidak tahu diri jika setelah lulus saya tinggal pergi begitu
saja. Pun saya punya ‘hutang’ pada simbah yang sampai sekarang belum saya
bayar. Jadi sejak kecil, saya tumbuh dan berkembang dibersamai simbah dan alm.
simbok. Baru ketika SMP-tepatnya saat adik saya ada, saya tinggal bersama orang
tua. Bakti saya tentu tidak hanya pada kedua orang tua saya, tapi juga simbah.
Berkali-kali mamak selalu mengingatkan, “Besok
kalau udah kerja, jangan lupain simbah.”
Maka kadang, setiap kali kondisi
keuangan keluarga sedang krisis, Bapak saya selalu ‘lari’ ke simbah. Kalau pas
giliran saya yang butuh dan saya disuruh minta, tentu saya selalu menolak. Tapi
ketika Bapak saya yang butuh, dan beliau mengode dan tentu sebagai orang tua
simbah selalu peka, saya juga yang marah-marah. Seperti tadi pagi contohnya.
Menanggapi omelan saya bapak menjelaskan, “Lho
lha simbah ki ramaku (jw: bapakku). Kalau pas nggak punya ya aku mintanya ke rama,
dong. Lha minta ke siapa?”
Lalu, simbah dan mamak tertawa. “Aku tu kalau minta ke njenengan (jw: anda) nggak boleh maaa….” Ungkap Bapak melaporkan saya.
“Lhooo… itu tu hutaaang. Enak saja,” Canda simbah meluruskan.
“Lha iyooo… utang, Rin. Yang bayarin besok kamuuuu,” tambah Mamak
yang membuat saya mencebikkan bibir. Kecut, yang utang siapa, yang bayar siapa.
“Sesuk kowe le bayar ning simbah, ojo lali!” seru Bapak malah
memojokkan saya.
Meski begitu, saya menanggapi
juga, “Shiiiaaaaap.”
Ada juga keinginan-keinginan
kecil yang belum saya capai, yang sepertinya tidak bisa saya lakukan jika
sedang dalam status ‘milik orang lain’.
Sendiri itu nikmat. Bagi yang
telah jatuh dan terjerat pada kebebasan sempat tanpa syarat.
Sendiri itu candu. Bagi yang
mampu mencium aroma lezatnya sepi dan juga sendu.
Sendiri itu kekasih sejati. Bagi
yang tengah jenuh dikecewakan dan dijatuhkan berulang kali.
Dulu semasa masih pada status
‘mahasiswa banget’, sendiri saya adalah menikmati angin pinggiran Jalan Gejayan
yang berhembus, bersama laptop-wifi-dan-pekerjaan-pekerjaan yang ‘menyenangkan’
di serambi plaza kampus tercinta. Atau duduk pecicilan di kursi depan salah satu ruangan gedung rektorat sambil laptop-an
dan menyaksikan orang-orang berlalu-lalang malam-malam. Atau menekuri layar
laptop sambil berkali-kali menepuk nyamuk foodcourt
UNY yang sungguh sangat tega menyesap tubuh saya yang kering kerontang sampai lebih
dari pukul satu dini hari. Atau jalan-jalan malam tanpa arah dan tujuan dari
kos-muter sampai jalan gejayan-jalan colombo-lewat fmipa-dan kembali lagi ke
kos. Atau hanya sekadar makan di burjoan Karangmalang/tempat makan sekitarnya
tanpa teman sambil mencuri dengar obrolan-obrolan kritis dari orang-orang
sekitar.
Sekarang, hal-hal di atas sudah
tidak bisa saya lakukan. Mungkin, ‘sendiri’ saya sekarang ini sangat sederhana;
duduk di ruang tamu atau tidur di kamar. Mungkin itu juga yang membuat saya jenuh.
Karena kesempatan untuk menyendiri saya sangat-sangat terbatas. Saya yang di
kos biasa bebas, jadi cuma glundang-glundung
di rumah dan melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Hmmmm.
Intinya, saya jenuh dan butuh kamu,
Mas mancal! Huah!
Komentar
Posting Komentar