[ Ngopini ] : Reaction - Sistem Penilaian SBMPTN 2018
Di awal 2018 ini, ada banyak sekali
fenomena-fenomena yang bikin heboh bahkan hectic
warganet. Mulai dari berbagai video viral kids
jaman now, menyebarnya video instastory dari beberapa orang yang
berperilaku kurang pantas (pemberian alkohol dan pelemparan rokok pada hewan
kebun binatang, perilaku mbak Syahrini pas di Jerman yang menimbulkan banyak
kecaman, dll). Yang baru aja heboh kemarin adalah tentang puisinya Bu Sukmawati
yang dinilai menyudutkan islam. Belum lagi fenomena kartu kuning, penggantian
sistem penilaian SBMPTN yang -dianggap- aneh dan diinfomrasikan secara
mendadak, dan lain sebagainya. Kesemua itu menimbulkan reaksi yang sama;
membangkitkan dan meningkatkan reaktivitas warganet Indonesia. Jangan abaikan,
warganet Indonesia itu superpower lho.
Ibaratnya kalau diadakan polling
seluruh dunia untuk mendukung negaranya, Indonesia pasti menang. Positifnya
adalah, solidaritas warganet Indonesia tidak bisa diragukan lagi. Dan btw, ini
masih tergolong awal tahun menjelang tengah… udah banyak banget kontroversi di
negeri ini. Sampai penghujung tahun, gimana ya? Hm, kita lihat saja.
Dari kasus-kasus itu, aku ingin
mencoba mengurai satu; perubahan sistem penilaian SBMPTN 2018.
Setelah perubahan sistem penilaian
SBMPTN 2018 resmi dipublikasikan 9 April 2018 kemarin, Kemenristekdikti dan Panitia
Pusat SBMPTN 2018 khususnya, diserang oleh warganet yang mayoritas tentu saja
calon peserta SBMPTN tahun ini. Pro dan kontra tentu saja pasti ada, tetapi
mayoritas yang terekspos adalah kemarahan pejuang SBMPTN tahun 2018. Kebanyakan
dari mereka kecewa dengan pemberitahuan perubahan sistem yang mendadak,
terkesan seenaknya dan terkesan tidak mempedulikan siswa yang harus beradaptasi
dengan sistem. Selain itu, peniadaan sistem minus dinilai tidak adil. Seakan-akan
hanya orang bejo-lah yang akan memenangkan SBMPTN ini, karena asal menjawab pun
tidak berakibat apa-apa.
Oke, di sini aku cuma ingin
menyampaikan apa yang menjadi pendapat dan ketidakmengertianku akan kejadian
ini berdasarkan kacamata seorang mahasiswa Pendidikan Matematika. Dengan
berbekal pengetahuan yang hanya selama satu semester di mata kuliah penilaian (Assesment), semoga apa yang aku tuliskan
ini bukan opini buta.
Lagi, aku nggak bermaksud menyorot
warganet yang mungkin bagi sebagian orang dianggap terlalu reaktif; mengajukan
protes berdasarkan emosi belaka tanpa penghayatan dan menilik lebih dalam. Kita
nggak bisa mengatakan demikian, nggak pantes bagiku, karena aku sendiri nggak
ngerasain apa yang mereka rasain. Beda dong suasananya ketika aku menjadi salah
satu pejuang (atau mungkin adekku, saudaraku, orang terdekatku) dengan aku yang
hanya melihat, bukan siapa-siapa di panggung SBMPTN ini. Tapi yang disayangkan
adalah… kenapa harus berlarut-larut? Kenapa harus sedemikian benci dan kasar komentar
yang dilayangkan? :”)
Sebelumnya, kita cermati dulu aturan
SBMPTN tahun ini.
Kesemua aturan ini dimuat dalam siaran
pers yang ditandatangani oleh Sekretaris Panitia Pusat SBMPTN 2018 dan dimuat
di laman kemenristekdikti.
1. Penilaian terhadap jawaban SBMPTN 2018 tidak lagi menggunakan skor 4 (empat) untuk jawaban benar, skor 0 (nol) untuk yang tidak menjawab, dan skor negatif 1 (-1) untuk jawaban yang salah seperti pada SBMPTN 2017
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini SBMPTN tidak menggunakan sistem skor negatif. Ini bisa menguntungkan karena peserta bisa lebih tenang dalam mengerjakan soal.
Lalu? Apakah ini nggak adil? Peserta bisa bebas menjawab jika tidak bisa, dan jika beruntung bisa benar dan memperoleh skor.
Hmmmm. Sebenernya ini yang aku sendiri masih bertanya-tanya. Tapi, percayalah bahwa segala keputusan sudah melewati pertimbangan dan kajian mendalam. Menurutku pribadi, dengan sistem skor ini istilahnya, mengurangi pihak yang merasa bahwa dia udah usaha ngerjain, bisa, tapi dalam perjalanannnya kurang teliti atau salah jawab, dan justru mengurangi skornya. Dengan kata lain, untuk situasi tertentu, seakan nggak ngerjain itu lebih baik daripada berjuang mencoba menjawab soal yang sulit, ngabis-ngabisin waktu, dan justru dapet punishment. Does this kind of score system better appreciate us? Emmm oke, opini orang beda-beda,
Saat membaca serentetan perubahan sistem penilaian SBMPTN 2018, poin ini adalah yang paling menarik perhatianku. Sontak aku bilang, “Gils, panitianya well”.
2. Metode penilaian pada SBMPTN 2018 tidak hanya memperhitungkan jumlah soal yang dijawab dengan benar dan salah oleh peserta, tetapi juga memperhitungkan karakteristik setiap soal khususnya tingkat kesulitan dan sensitifitasnya dalam membedakan kemampuan peserta.
Saat membaca serentetan perubahan sistem penilaian SBMPTN 2018, poin ini adalah yang paling menarik perhatianku. Sontak aku bilang, “Gils, panitianya well”.
Di sini,
jawaban peserta nggak langsung dikonversi ke skor, tapi dilihat dulu tingkat
kesulitan per butir soal. Saat kita ingin menjadikan suatu tes menjadi penentu
(terutama untuk meranking), tentu kita butuh soal yang emang bener-bener bisa membedakan
antara satu siswa dengan yang lain. Makanya dibutuhkan soal-soal yang emang
sulit-yang punya daya pembeda tinggi, dan tingkat kesulitan yang beragam.
Tingkat kesulitan bisa ditentukan dengan membandingkan jumlah peserta yang
menjawab benar dengan peserta seluruhnya. Semakin sedikit yang menjawab benar,
tentu soal tersebut bisa dikategorikan semakin sulit. Jadi, salut banget sama
aturan ini. Artinya, panitia emang bener-bener niat buat menyaring yang emang
beneran pantas. Karena penilaian semacam ini, membutuhkan beberapa tahap, nggak
seperti sistem penilaian yang sebelumnya yang langsung bisa dikonversi.
Panitia pusat SBMPTN pun dengan baik
hati menjelaskan secara terbuka mengenai metode penilaiannya, yakni dengan tiga
tahap;
- Tahap I, seluruh jawaban peserta SBMPTN 2018 akan diproses dengan memberi skor 1 (satu) pada setiap jawaban yang benar, dan skor 0 (nol) untuk setiap jawaban yang salah atau tidak dijawab/kosong.
- Tahap II, dengan menggunakan pendekatan Teori Response Butir (Item Response Theory) maka setiap soal akan dianalisis karakteristiknya, diantaranya adalah tingkat kesulitan relatifnya terhadap soal yang lain, dengan mendasarkan pada pola response jawaban seluruh peserta tes tahun 2018. Dengan menggunakan model matematika, maka akan dapat diketahui tingkat kesulitan soal-soal yang dikategorikan mudah, sedang, maupun sulit.
- Karakteristik soal yang diperoleh pada Tahap II, kemudian digunakan untuk menghitung skor setiap peserta. Soal-soal sulit akan mendapatkan bobot yang lebih tinggi dibanding soal-soal yang lebih mudah. Tahap-tahap penghitungan skor ini dilakukan oleh tim yang memiliki kompetensi di bidang pengujian, pengukuran dan penilaian.
Dengan penilaian semacam ini, meskipun
beberapa peserta berhasil menjawab jumlah soal yang sama, tapi skornya bisa
berbeda, tergantung yang dijawab benar itu soal yang kaya gimana. Bakal ribet of course, tapi biarkan penilainya yang
ribet, dan… mereka rela, demi penilaian SBMPTN yang lebih adil dan lebih
bermutu. Karena perlu diketahui bahwa penilaian semacam ini sudah banyak
diterapkan secara meluas terutama di negara-negara maju seperti Amerika dan
Eropa. Skor yang didapat akan lebih fair karena menyertakan karakteristik soal
dalam penilaian.
Yah intinya, ambil sisi positifnya aja
sih. Coba pelajari dan renungi dulu sebelum bereaksi. Toh usaha tidak akan
pernah mengkhianati hasil. Kenapa kita fokus pada sesuatu yang bisa melemahkan
kita? Mengkambinghitamkan sesuatu yang tidak berada pada kuasa kita? Dengan
kata lain, kenapa kita fokus kepada sesuatu yang nggak bisa kita kendalikan?
Padahal ada hal lain yang bisa kita usahakan dan perjuangkan sekaligus kita
kendalikan? Yesseu, usaha kita:”)
Tetap semangat dan pantang menyerah!
Semangat!
Hmm... interesting. Selamat (dan semoga) sama-sama berjuang peserta maupun panitia SBMPTN 2018! ��
BalasHapusIyha, karena berjuang sendirian itu menyakitkan:') sama-sama saja
Hapus