[ Cerita Panjang ] : Jangan Baca Kalau Males Baca

“Kamu ngerasa nggak sih, kalau seiring umur kita bertambah, cobaan hidup yang kita rasain tu semakin gedhe? Kek levelnya naik gitu,” (Mbak Rita, tetangga kos gang kecil, 2016).

Katanya, ketika orang udah masuk usia 20-an, akan ada suatu momen di mana batinnya tertekan, pikirannya terbebani, dan akhirnya ngaruh ke fisik. Rasanya nggak mood ngapa-ngapain. Segala macam makanan nggak masuk, ketawa rasanya hambar, bahkan punya tugas setumpuk nggak mau nyentuh sedikit pun. Hal besar itu begitu berpengaruh; yakni segala pertanyaan atau gejolak yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang menyoal tentang: eksistensi, tujuan, dan evaluasi hidup.

“Sebenernya aku hidup tu buat apa?”

“Aku hidup ngapain, sih?”

“Apa yang aku lakuin ini tu udah bener belum?”

“Yang aku lakuin selama sekian-tahun ini tu apa aja?”

Apakah pertanyaan-pertanyaan ini yang membayangiku selama berminggu-minggu ini?

Sebaiknya, aku bercerita dulu apa yang terjadi padaku belakangan ini.

I Don’t Like It Dude, Can You Shut Up?

Ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang dengan tanpa memikirkan perasaan orang lain-dengan blak-blakan menyatakan ketidaksukaannya, ketidaknyamanan, dan menunjukkan sikap frontal tanpa memikirkan bahwa orang yang diperlakukan seperti itu punya hati, bisa down, bisa sakit hati, bisa tersinggung. They feel free to mocking, saying something bad, and typing as they would never meet again in the real world.  They don’t care about that. Mereka cuma nggak mau bermuka dua, jujur gitu katanya. I don’t know why, actually, what do you think?

Dulu aku tipe orang yang nggak hobi buat cerita-cerita apalagi curhat. Apapun aku simpen sendiri. Walaupun aku jadi tempat cerita banyak orang, tapi orang-orang itu nggak tahu tentangku sedikit pun. Itu SMP. Ketika SMA, aku menemukan banyak temen yang suportif dan respek. They always push me to improve myself although it only does the simple thing like… talk.

“Rini! Ngomong dong ngomong…! Kamu tu pinter, cuma kamu tu harus belajar public speaking!” begitu kata salah seorang temenku-sebut saja Jono-yang sampai sekarang, nasehat-nasehatnya tak pernah luput kuingat.

Then, my another friend, temen yang terkenal misterius. Dia sesosok cewek yang supel dan cool-sebut saja Jini. Nggak ada yang banyak tahu tentang dia secara mendalam, meski dia banyak ngomong, ceria, dan aktif. Waktu itu ketika pelajaran membatik, dia duduk di sebelahku dan tanpa ragu menceritakan tentang hubungannya dengan keluarganya. Gimana setiap anggota keluarganya yang cuek, ayahnya yang nggak pernah peduli meski temenku itu berusaha untuk mencari perhatian dengan prestasi-prestasi yang ia raih-jadi jawara kompetisi lokal, regional, nasional-tapi itu sama sekali nggak berarti buat ayahnya. Bagi ayahnya, dia selalu dipandang mengecewakan. Dan berbagai cerita bagaimana dia di rumah. Semua cerita itu menurutku adalah cerita yang nggak bisa dibagi ke sembarang orang. Tapi dia menceritakan itu begitu saja padaku, padahal kita tidak pernah melewati momen sebagai sahabat dekat. Lalu, dia bertanya, “Kalau kamu gimana? Pasti membanggakan terus ya? Giliran kamu deh… cerita-cerita, dong.”

Sejak saat itu aku mulai membuka diri, mengizinkan orang lain untuk tahu beberapa hal tentangku. Karena waktu itu aku berpikir, “Dia udah nyeritain hal penting dalam hidupnya. Dia nganggep aku bisa dipercaya. Masak aku nggak menghargai itu?”

Pada masa itu juga, aku merasa temen-temenku berkomplot: memberi situasi dan kondisi yang memaksaku untuk ngomong (dijatah buat jawab habis presentasi kelompok lah, ngajuin pertanyaan-pertanyaan setelah aku maju di depan kelas, atau apapun). They are very nice people. And now, here I’m. 

Di SMA, aku banyak menemukan orang-orang yang original, bersikap sesuai hati, nggak fake. Pun juga, aku menemukan banyak orang yang badung (telatan, ngatukan, suka bolos, sering nyleneh) dan mereka tetep temen-temenku-karena mereka juga menganggap aku demikian. Karena bagiku, seburuk apapun orang, sepanjang dia respek padaku, menganggap bahwa aku ini temennya, masih mengangguk sambil tersenyum saat kami berpapasan-bukan cuek atau justru membusungkan dada-meski dia nakal, nyleneh, suka ngomong kasar (sebagai bentuk ekspresi, bukan ngatain orang), ngerokok, berandalan, bikin onar, dan apapun-aku tetap menganggapnya teman. Aku lebih menghargai orang yang seperti itu daripada orang yang sering ngelus, memperhatikanku, mengingatkan aku ini-itu tapi hatinya nggak pengen bener-bener melakukannya. Pada nyatanya cuek, nggak peduli, nggak respek. Formalitas. Sah-sahan. I have met and faced many people, do you think I can’t see from your eyes? Don’t ever do it, if you don’t wanna do it to me.

This Is The Part Of What Troubles Me

Selama ini aku banyak diam ketika bermasalah, diajak cari masalah, atau bahkan disalahkan. Pembawaanku lebih ke sante, woles, nggak ngotot kalau diajak ribut (masih menurutku, sih). Meski pada nyatanya, dari dalam diri sungguh sangat panas dan ingin memaki. Ada yang bilang, aku nggak bisa marah. Yang berkata seperti itu salah dan juga benar. Aku bisa marah, karena pada nyatanya aku tempramental. Tentu, yang tahu cuma keluargaku. Karena ketika di depan keluarga, kita nggak bisa nutupin apapun dong… kita bakal memunculkan sifat asli. Aku pernah melalui suatu masa di mana emosiku diuji. Sering ribut sama orangtua, berkali-kali ngambekan, pernah juga nangis histeris di rumah, banting-banting apapun sampai kamarku kaya kapal pecah, dan menemui berbagai masalah yang membuat amarahku selalu tersulut.  Apakah aku seperti itu di depan teman-temanku?

Tentu tidak.

Bahkan, berulangkali aku tidak dihargai, dianggap remeh, disakiti, ditinggalkan, tidak diprioritaskan, aku diam. Aku akan marah jika sudah keterlaluan tapi cuma pas itu tok. Selanjutnya, aku bisa biasa aja. Lupa. Melupakan sebenarnya. Bahkan saat aku mencoba menunjukkan kemarahanku, semakin aku sadar bahwa… aku nggak bisa marah. Yang ingin aku katakan adalah, nggak semua orang yang nggak bisa marah itu emang bener-bener sabar dan nggak bisa marah. Manusia nggak sesuperpower itu. Kecuali manusia-manusia yang dianugerahi hati demikian mulia. Boleh jadi dia menyimpan amarah yang begitu besar, yang ketika tersulut sangat membahayakan. Dia diam, bisa sabar, karena dia merasa bahwa apa yang dianggap orang-orang di sekelilingnya sebagai suatu hal yang keterlaluan adalah remeh.

“Lho kok kamu biasa aja, sih? Nggak marah gitu?”

Mungkin kalau dia mau jawab, “Aku udah pernah merasakan hal yang lebih menyakitkan dari ini. Apa yang aku rasain saat ini tu nggak ada apa-apanya.” Tapi tentu saja, ia akan memilih diam saja sembari tersenyum.

Why I can say like that? Because this is what happens to me a lot.

Aku selalu heran dengan orang yang marah sama orang sampai muncul dendam kesumat yang tidak bisa hilang, sebel, kesel, kecewa sampai sedemikian dalam. Lupa kalau sebelumnya pernah berjuang bersama, melewati masa-masa indah. Semua itu seakan terlupakan oleh satu hal. Setitik nila. Ya… aku juga pernah seperti itu. Kecewa sama orang sampai nyuekin doi berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Tapi untungnya, setiap aku kecewa sama seseorang, Allah segera membayangi pikiranku atau mengingatkanku dengan kebaikan-kebaikan yang dia lakukan. Dan akhirnya, aku kesal pada diriku sendiri, yang tidak bisa memahami dia. Atau bahkan ketika aku mulai merasa tidak cocok dan berpikiran negatif pada seseorang, Dia menghancurkan prasangkaku dengan menunjukkan suatu momen yang membuatku tersadar, “Dia tu baik lho… kok kamu tega berpikiran kek gitu.” Dan akhirnya, kembali aku kesal pada diriku sendiri. So, aku selalu nggak habis pikir sama seseorang yang terlalu frontal ketika nggak suka sama orang. Maksudnya… biasa aja bisa nggak sih? I just don’t like people who behave as if they are queens-act freely and doing what they want-seeing another people like ‘remahan peyek’-yang ketika mereka nggak suka, prek-in aja. Apa yang aku lakuin ketika ketemu sama orang-orang kaya gini? Ya biasa aja.

Kita nggak tahu orang mana yang akan Dia datangkan untuk membuat kita sukses di masa depan. Kalau ternyata justru dia-yang nggak kita sukai, dan kita sendiri terlanjur antipati, kan malu sendiri. Kata orang bijak, kalau benci jangan terlalu, kalau cinta jangan begitu. Asik.

So, this is my first problem and I can’t stop to ask… why people why?

Gen Kompor

Nggak tahu kenapa, orang jaman sekarang gabut atau gimana, selalu membesar-besarkan kesalahan yang sebenernya… bisa dimaklumi. Tapi orang memilih buat mencetak tebal, meng-highlight, dan membesar-besarkannya sampai puas. Menghujat terang-terangan secara berjamaah dan terbuka, mancing-mancing di grup roomchat, bahkan secara bersama-sama janjian nyindir lewat status-saling repost-merepost sampai pengirim asli dan tulisannya nggak keliatan. Do you ever thinking about people who actually you want to attack? Aku yang liat aja miris… sedih bo. Status sosmed beralih guna jadi alat buat perang. Berpikir bahwa target nggak peka? Hmmm. Kepekaan orang itu beda-beda. Kalau emang penting urusannya, ngomong langsung aja kenapa? Bukankah sekarang kita hidup di zaman yang blak-blakan? Berarti kode-kodean nggak jaman dong?

Again… I don’t understand about that. Why people why? Are you really perfect person, never make a mistake, so you can freely to judging? Do you ever try… positioning yourself to be like her/him?

Kuman diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Menghujat kesalahan orang itu memang nikmat. Tanpa berpikir bahwa ada usaha mati-matian dibalik semua yang telah dilakukan. Tanpa berpikir bahwa mungkin, ada hal berat yang dia lalui sampai dia melakukan kesalahan demikian. Dia udah melalui proses dan hal yang berat tanpa kita tahu, kemudian kita tambah bebannya dengan menghujatnya. Hmmmm... very delicious meat.

Diam untuk Berpikir dan Mengambil Langkah

Aku amati orang-orang di sekelilingku. Orang-orang itu banyak, berada di sekitarku. Aku sempat berpikir bahwa aku nggak kuat untuk hidup di tengah-tengah lingkungan yang seperti ini, tapi, aku harus menerima kenyataan. Dunia semakin jahat. Aku nggak bisa menghindar. Ini hanya secuil latihan bertahan hidup. Kehidupan masa depan? Lebih kompleks dan berat lagi. Dan kemudian, aku inget kata-kata Mbak Rita yang aku jadikan quote di awal tulisan ini.

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku juga jadi sensitif. Mudah tersinggung. Mudah sedih. Mudah terpuruk. Lebih blak-blakkan. Apakah aku muak? I don’t know
Apa yang tidak aku suka-yang aku sebutkan diawal, justru seperti kulakukan. Mulai tidak peduli, frontal, bahkan kadang nggak segan-segan buat nyakitin hati orang lain. Dan... aku sama sekali nggak merasa bersalah.

What's wrong girl?

Ngapain aku pusing-pusing liatin tingkah laku orang lain hm? Sementara diriku sendiri... Look at your self! OMG. Rusak.

Entalah, aku... terasa seperti akan menutup diri lagi. Tingkat kepercayaanku terhadap orang-orang di sekitarku menurun. Aku seperti tidak berhak tertawa, bersenang-senang dengan teman-temanku, sebelum aku membangun rumah yang nyaman dan menyenangkan di tengah keluargaku sendiri. Aku seperti sia-sia baik-baikin orang lain, jadi pendengar yang baik buat orang-orang di sekitarku, tapi terhadap orang tua dan adikku sendiri belum sepenuhnya bisa berlaku baik bahkan sering mengecewakan.

Aku hidup sudah 20 tahun. Akankah aku terus menjalani hal-hal yang tidak berguna? Spending long hourse surfing social media and didn’t hear my sister asking about her homework?

Saat itu juga, aku berpikir bahwa menjadi serius akan menjadi suatu pilihan yang menyenangkan.

Sebagai mahasiswa, aku udah semester enam. Lu udah siapin  apa aja coy? Kuliah selama enam semester, lu kemanain? Lu kuliah pake uang negara! Masih berhak buat leha-leha?S Semester enam ini juga yang semakin membuatku sangat-sadar bahwa aku... begitu... goblok.

Berbeda dengan SMA yang penuh dengan lika-liku dan tantangan hidup, aku merasa bahwa pada masa mahasiswa ini hidupku dominan lancar. Kalau gronjalan tetep ada, tapi jarang menanjak. Nggak ada yang sampe bener-bener aku nangis ngguling-ngguling nggak berhenti-henti+perasaan mau mati.
See... Hidupku lancar belakangan ini tapi justru itu yang membuatku bertanya.. what's wrong? Apakah Dia juga kecewa denganku sampai tidak berminat lagi untuk menyapaku?

Jadi sebenarnya, inti dari permasalahanku adalah… AKU KECEWA DENGAN DIRIKU SENDIRI.

Give me time to build my power again. Don’t judge me please, because its very affect me. Let me recharge my self by my own way.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER

Nggak Penting~