[Ambalan] : Ini Ceritaku, Apa Ceritamu? Part II

Sesuai janji saya di postingan sebelumya, saya akan melanjutkan kisah saya *halah* saat bergabung menjadi DA *nggak penting sih mbel!*
Oke, kemarin kita udah menginjak sesi mengisi formulir *basanya kenapa jadi gini -___-
Sekarang, daku mau menuturkan behind the scene sebelum pelantikan *ini bukan masalah seleksi jadi jangan harap dapet info atau bayangan seleksi di sini xD
Tahun lalu, SMA-ku emang nggak ada pramuka, makanya kami diberi bekal dulu, baru tes SKU. Waktu itu tes SKU dibagi menjadi dua sesi, yakni tertulis dan wawancara sekaligus praktik.
Tes SKU tulis, jangan tanya... bukannya ujian malah diskusi. Dan lagi-lagi emang itu sih pertama kali kami kompak (sayangnya dalam bidang yang seperti itu #geblek). Pas hari kedua (praktik), di sini nih aku nemuin kesulitanku.
Di suatu siang dengan panas yang cukup merong-rong, aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah dengan baju kehormatan *eaaa* yakni baju pramuka. Setelah dzuhur, aku udah nggowes tu ontel di sepanjang jalan menuju Kreteg Abang. Perasaanku... udah pasti bahagia. Nggak tahu kenapa, angin yang biasanya membuat gowesanku terasa berat, saat itu terasa sangat ringan. Coret yang itu, alay!
Tapi siapa sangka... bahagia itu hanya sementara.
Di Kreteg Abang, aku menunggu dan terus menunggu apa yang aku tunggu. Udah biasa sih, karena setiap kali ya begini kerjaanku. Menunggu ketidakpastian *eaaa *mesti salah fokus.
Bener banget, robot beroda bernama bus itu emang sok penting banget. Udah sok penting, nggak peka, nggak punya perasaan lagi. Dari jam tengah satu ampe hampir jam dua, itu bis nggak dateng-dateng, pret. Mana masuknya jam dua, dan kenapa perasaanku waktu itu sedemikian galaunya. Resah, bingung, sedih, dan nggak tahu kudu gimana.
Kalau aja dulu udah ada hestek #Akurapopo mungkin aku masih bisa tenang. Tapi sayangnya... hestek yang lagi buming malah #AkuKuduPiye! Jadi yang bisa aku lakuin ya cuma menggigit jari, gelisah, resah, susah, dan sambil terus bilang : Aku kudu piye?
Karena tahu bahwa aku bener-bener telat, aku SMS Kakak DA memberitahukan bahwa aku telat *emang apa pentingmu, sih?*
Dan aku tambah nyesek saat Mbak DA itu nggak ngrespon sms-ku -___- rasanya tu... kemropok banget gilak #abaikan
Saat aku udah di puncak keputusasaan, dengan tak berdosanya itu bus malah melenggang. Begitu aku melambai-lambai penuh harap agar dia berhenti, itu bus dengan songongnya malah tak menghiraukan. Mencampakan aku dan tak menganggapku ada.
GEBLEEEKK!! LO PUNYA MATA NGGAK SIH, MBELLL?!!
GUE BENER-BENER DITINGGAAALL, PRETT!!!
Gimana perasaan lo jadi gue? #jangandijawab
Dengan nafas berat, aku memutuskan untuk nyebrang, duduk di suatu pagar, mengirim sms untuk Bapakku, berharap dia mau mengerti aku.
 Ketika ku tegapkan kepalaku, sebuah bus biru justru lewat di saat aku tak mengharapkannya. Biarkan. Aku sudah dibuat PHP. Tak kubiarkan dia mempermainkan aku lagi (?)
Beberapa menit kemdian, si Bapak akhirnya datang. Ku kira dia siap untuk mengantarku sampai sekolah. Ternyata beliau malah membawa kabar duka yang membuat hatiku tertohok seketika.
“Udahlah, lagian udah telat, kan? Nggak usah ikut dulu.”
Nggak gondok gimana coba?
SUMPAH, APA BAPAK ITU NGGAK TAHU, PURA-PURA NGGAK TAHU, ATO MALAH NGGAK MAU TAUUUU?? GILA AJAAA. INI TES PAK TESS!!
Andai waktu itu aku bisa menjerit sedemikian rupa, pastiah akan kudapatkan hidup yang lebih berwarna #paansih
Entah angin apa, setelah berperang dengan batinku sendiri dan juga Bapak, aku memutuskan mengambil sepeda yang udah aku titipin di daerah situ. Dengan tatapan kosong, aku menggowes sepedaku. Tak peduli apa yang aku lewati dan yang melewatiku. Kenapa dunia sekejam ini?
Mula-mula aku bisa terima. Bapak juga udah susah payah mendorongku ke rumah, padahal waktu itu, angin begitu hebat bertiup.
Aku masih bisa terima untuk beberapa saat.
Tapi sayangnya, emang cuma beberapa saat.
INI ARTINYA, AKU BENER-BENER NGGAK BISA IKUT TES
APA INI JUGA BERARTI, AKU UDAH NGGAK BISA IKUT AMBALAN LAGI?
Pemikiran-pemikiran kacau silih berganti berlalu-lintas di kepalaku. Kepalaku berdenyut, mataku sembab, dadaku sesak, dan hatiku hancur. Mengingat semuanya... mengingat kenyataan bahwa perjuanganku hanya cukup! sampai di sini itu... seperti kehilangan seseorang yang engkau cintai. Iya, aku bener, aku nggak alay, aku nggak bohong. Sepanjang jalan aku nangis, nggak cuma netesin air mata doang, tapi bener-bener nangis koar-koar. Tangisku menderu, seiring Bapak terus melajukan sepedaku.
Banyak sih orang di sepanjang jalan. Tapi aku nggak peduli. Toh mereka juga nggak peduli sedikit pun kalau aku waktu itu bener-bener berada di ujung kehancuran.
Sampai di desa, aku berhenti nangis. Secuek-cueknya manusia juga punya malu kalik!
Dan ketika sampai di kamar, aku udah nggak tahan. Kuluapkan apa pun dalam diri dan perasaanku. Emosi itu kubiarkan keluar. Biarkan... orang lain bisa bilang itu berlebihan. Tapi, aku bener-bener melakukannya. Bahwa aku emang pernah nangis karena terancam nggak bisa ikut Ambalan.
Nggak tahu juga, mungkin rasa pengenku itu udah keterlaluan.
Kecewa aja. Udah bener-bener mantep tapi terpaksa batal karena seorang Bapak nggak bisa nganter anaknya itu...?
***
Itu setahun yang lalu. Saat-saat di mana harapan dan keinginanku itu putus, hancur, bahkan (hampir) lenyap.
Sekarang... aku justru merasa beruntung. Bahwa Allah memilihkan ‘jalan yang tidak biasa’ untukku adalah sesuatu yang patut disyukuri. Ya, jalan lain –yang lebih baik dan berkesan untuk menjadi seorang Dewan Ambalan. Berlebihan atau enggak, begitu lah adanya.
Nggak maksud gimana-gimana sih, cuma mau menyatakan bahwa dulu-sekarang ini, aku melakukan itu (memutuskan jadi DA) itu emang bener-bener dari hati. Bener-bener niat, nggak cuman ikut-ikutan.
Dan sekarang... aku dapetin lebih dari sekadar pengalaman. Bener banget! Apa-apa yang dijalani dengan niat yang tulus itu akan mendapatkan sesuatu yang lebih. Kekayaan jiwa itu pasti.
Dan ternyata, hari bersama teman-teman Ambalan itu tinggal beberapa hari lagi. Kejam , sih. Yah, karena besok Sabtu, akan ada sesuatu yang membuatku benar-benar harus siap melepas jabatanku. Aku berharap, pengganti kami itu, bisa melakukan lebih dari apa yang sudah kami raih. Semoga mereka juga bener-bener tulus ikut serta jadi Dewan Ambalan. Semata-mata karena keyakinan, panggilan, serta kerinduan untuk membaktikan diri.
Semoga saja :)

Regards,

Ansito.
Tanah Kebanggaan, di suatu malam diiringi lantunan tasbih yang menggema dari luar

In Memoriam...
my beloved friend :)
Lia-Adik-Ninis-Nirma (ki-ka)

Ki-Ka : Ima-Mutia (Sang Pradana)- Mbak Pipit (pemangku adat -senior)-Mei

Fahrul-Dewanti
(para pemangku adat *harusnya Ivan tapi dia baru pulang dari malang* salah pengucapan amsalnya :P)

Hastrilagi baca Sandi Ambalan *ini bikin ternyuhhh*

aku yang nggak mandi selama... *berapa hari ya?* kwk (acara PDT)

waktu latihan mingguan (semaphore)
LOVE YOU SOU MUCHHH!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

[ Lagi Bener ] : (Bukan Lagi) Sebuah Rahasia

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER