[Inilah Aku!] : Ketika Aku Diasingkan...
Siapa
hayo? Siapa yang mengalami kayak begini? Siapa yang pernah ngrasain apa yang
jadi judul dalam bab ini? Siapa yang sedang, atau bahkan sekarang lagi gelisah,
resah, lantaran dibegitukan?
Ketika
orang bertanya, siapa yang pernah? Tentu, aku akan menjawab : aku.
Mungkin
tak hanya aku. Mungkin kamu, dia, atau mereka. Ketika aku ditanya bagaimana
rasanya? Sungguh, aku tak bisa mengatakannya. Ini terlalu sulit untuk meluncur
dari kerongkonganku. Sulit! T_T
Ketika
yang baik dan yang polos, pergi.... Yang biasanya selalu membagi senyum dan
keramahnnya kepadaku, juga pergi. Entah ke mana! Semua menghilang. Ya,
menghilang ketika aku membutuhkan mereka. Dan aku tak tahu, kenapa mereka
seperti itu? Padahal tatapan mata mereka di saat hari-hari sebelumnya,
menunjukkan kesetiakawanan yang amat ikhlas tanpa pamrih. Mereka yang senantiasa
berada di sampingku, dan selalu mempercayakan rahasia mereka untuk aku genggam,
sekarang hanya punggung mereka yang ditampakkan kepadaku. Mereka diam, dingin,
dan bisu. Dan aku tak tahu... apa sebenarnya yang terjadi diantara aku, dia,
dan mereka?!
Semua
pergi dan menjauhkan diri dari sekelilingku. Dan yang masih berdiri dengan
gagah di sampingku hanyalah tembok dan lengkingan suara nyamuk. Juga meja
tempat aku bersandar ketika bahu-bahu yang begitu nyaman itu, telah hilang
tanpa mau berpamitan.
Sungguh...
dada ini sesak tak teredam. Begitu sesak dan meresahkan jiwa. Semua jadi terasa
sempit dan tak ada rongga lagi untuk bisa memikirkan hidup ke depan. Yang ada
hanyalah Tuhan, Tuhan, dan Tuhan. Ya... hanya Dia satu-satunya yang masih
bersedia untuk menyertai dan menemaniku. Juga mendengar hembusan doa dan segala
keluh kesahku. Ia begitu baik. Padahal selama ini aku hampir melupakan-Nya.
Selalu menjauhi dan memercepat pertemuanku dengan-Nya. Di depan-Nya, aku
sungguh hina. Tak bernilai apa-apa. Begitu kerdil dan tak berguna.
Ohh
Allah... kenapa aku selalu begini? Tak tahu diri. Mengingat-Mu ketika segala
macam masalah mengekangku. Dan ketika engkau lepaskan semua belenggu itu dengan
kasih-Mu, aku kembali lalai pada-Mu. Selalu menunda, bahkan mencampakkan segala
apa yang jadi kewajibanku.
Hmmm...
itu tentu sangat sesuai denganku. Bahkan mungkin denganmu? Atau mungkin juga
mereka?
Semua
jadi terasa ‘galau’ hanya karena kita merasa tak ada seorang pun yang ada di
samping kita. Padahal Ia senantiasa di samping kita. Bahkan selalu bersedia
menerima kita kapan pun. Subhanallah banget, kan!? Kurang setia apa coba Allah
sama kita? Bahkan begitu romantis. Mengalahkan segala hal yang paling ‘ter’.
Ketika
kita diasingkan, sebenarnya itu hanyalah sebuah perspektif dari otak juga
fikiran kita. Bener, nggak? Itu cuma perasaan kita, kan? Masak iya, kamu tahu
kalau kamu diasingkan karena mereka-mereka koar-koar : kita itu lagi
mengasingkan kamu!! Gila apah? Enggak, kan? Sekali lagi, itu cuma sebuah vonis
dari fikiran kita yang penuh dengan prasangka dan diri kita yang selalu mengahakimi
bahwa fikiran kita adalah benar.
Kita
emang sok tahu atas keadaan yang sesungguhnya. Padahal sama sekali tidak. Semua
hanyalah sebuah permainan hakim dari si fikiran yang penuh dengan prasangka
buruk. Tak selamanya apa yang kamu sangka itu benar. Dan semua yang menimbulkan
masalah juga perpecahan itulah yang bisa dikatakan buruk. Su’udzan.
Apa
hubungannya diasingkan sama su’udzan?
Lho?
Sekarang aku yang tanya... kamu tahu kalau kamu diasingkan itu darimana? Ha?
Coba? Apa di kasih tahu semut? Ngaco, deh!
Cuma
perasaan kita, kan?
Setiap
kita pasti ingin merasa tenang dan tentram. Tak terganggu dengan hal-hal yang
membuang-buang waktu. Hanya fokus kepada sebuah titik : maju, lancar, dan
berhasil. So, ngapain kita susah-susah mikirin sesuatu yang belum tentu itu
benar.
Berdasarkan
apa yang aku rasakan, ketika kita menganggap bahwa kita diasingkan, sebenarnya
diri kita lah yang mengasingkan diri dari lingkungan sekitar. Kita terbawa segala
prasangka-prasangka yang membuat diri kita malah menjauhi mereka, dan akhirnya
berdiam diri di pojok. Sendiri. Sibuk dengan segala kebimbangan dan keresahan
yang diakibatkan oleh ke-su’udzan-an kita. Kemudian kita berkata pada si hati
yang begitu polos dan tak tahu apa-apa : aku diasingkan. Kemudian si hati
sedih. Gara-gara ia sedih, semua anggota tubuh yang lain juga sedih. Akhirnya,
kamu meng-galau nggak jelas hanya karena menganggap bahwa mereka mengasingkanmu.
Ayo
kawan... tak pantas kau berlama-lama dengan hal yang sebenarnya tak perlu untuk
difikirkan panjang lebar. Percayalah... mereka baik-baik saja kepadamu.
Bukankah lebih baik jika fikiran ini selalu berbaik sangka terhadap sesuatu?
Menjadikan hati tenang tanpa beban. Damai, tentram, dan menyejukkan. Bukankah
begitu?
Jadi,
ketika engkau diasingkan, sejatinya engkaulah yang mengasingkan dirimu sendiri.
Percayalah!
Apabila mereka benar-benar mengasingkanmu, toh masih ada Allah di sampingmu. Yang
selalu ada untukmu!
Dan
inilah saatnya untuk kamu mulai... smile.... J
Sebuah Kisah
Dalam
Keterasingan
Dari Wahab bin
Munabbih, ia berkata : pada masa Nabi Musa as ada pemuda yang rusak dan
melampaui batas. Kaumnya mengusir pemuda itu dari negerinya karena amat buruk
perbuatannya. Namun ketikaia sampai di pintu gerbang negeri itu, ia terperosok
ke lubang dan mautpun menjemputnya.
Allah SWT mewahyukan
kepada Musa as, “Ada seorang wali dari wali-Ku yang telah dijemput maut.
Datangi, mandikan, dan sholatilah ia. Lalu katakan kepada orang yang banyak
berbuat maksiat untuk ikut mendatangi jenazah itu supaya mereka Ku-ampuni, dan
bawalah ia kepada-Ku karena ia telah memuliakan Aku.
Kemudian Musa as
berseru kepada Bani Israil. Berkumpulah orang banyak untuk mendatangi
jenazahnya dan mereka pun mengenalnya seraya berkata : “Wahai Nabiyullah!
Pemuda ini adalah seorang yang fasik hingga kami usir dari negeri kami.”
Nabi Musa heran atas
pernyataan mereka itu. Lalu Allah mewahyukan padanya : “Mereka benar dan mereka
adalah saksi-Ku. Hanya saja ketika pemuda itu dijemput maut, ia berada dalam
sebuah lubang. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, namun ia tidak mendapatkan
seorang teman pun. Akhirnya ia menyadari keheranannya sebagai orang asing yang
sendirian lagi hina. Ia berdoa : “Ya Tuhanku! Aku adalah seorang hamba dari
hamba-Mu yang asing di negeri-Mu. Seandainya aku tahu bahwa siksaan ini
menambah kekuasaan-Mu dan ampunan-Mu, maka tidak ada tempat dan harapan kecuali
Engkau. Sungguh aku mendengar lewat wahyu yang engkau turunkan (Taurat)
bahwasanya Engkau berfirman :
“Aku Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” Karena
itu, janganlah engkau menolak harapanku. Wahai Musa! Apakah aku menolak
kebaikannya, padahal ia seperti orang asing. Ia telah menyambung dengan rendah
hati antara kekuasaan dan kemualiaan-Ku. Seandainya seluruh penduduk bumi yang
berdosa memohon kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya dalam keterasingan. Wahai
Musa! Aku adalah tempat berlindung bagi orang yang terasing.”
Komentar
Posting Komentar