[Inilah Aku!] : I'm The Javanese
“You are byu... tiful..
byu... tiful. Byu...
tiful.
Kamu antit antit dari
hatimuu... uuu!!”
Haahhh...
apaan, sih!?
Busyett...
itu tadi adikku, sob! Gila, bener-bener. Sejak kapan aku nyanyiin dia kayak
begitu? Sejak kapann!!?? Huuaahhh... bocah umur 2 tahun nyanyi begitu, gimana
besoknya?
Ya
ampun... kok bisa?? Yang tahu tolong dong kasih tahu dan jelaskan kepadaku!! Apa
ini termasuk salah satu akibat dari globalisasi? Ataukah pergeseran budaya
lokal yang semakin menjadi-jadi? Apakah gara-gara budaya tu bule-bule yang
semakin mengimitasi? Atau gara-gara sepedanya Pak Karim dicolong Surti?
Heh?!
Apa hubungannya?
Oke.
Jangan nglindur lagi. Plis, sist! Pliiiiiss!!
Oke.
Mulai!
Padahal
nih padahal... –maaf-maaf kata nih- aku dulu kaleeeem banget (beneran!). Tapi
juga PD kalau di suruh maju di depan kelas. Ciaahhh. Jadi inget TK dulu.
Ketika
Ibu Guru menawarkan siapa yang berani maju untuk menyanyi. Haaahhh... entah
gimana kok bisa, aku maju aja, tuh. Nyanyi apa cemen-cemen!? Eaps... nyanyi tik-tik bunyi hujan. Wkwkwk.
“Tik...
tik... bunyi hujan di atas genting. Airnya turun, tidak terkira.
Cobalah
tengok, daun dan ranting... pohon dan kebun, basah semua...”
Yeeeaahhh....
Lho?
Kok malah nyanyi?!
Hihi...
kagak apa-apa, ya?! Nostalgia masa-masa TK. Ya ampuuun... masa-masa tanpa dosa,
dan tidak tahu menahu tentang konflik dunia. Belum tahu tentang kehidupan
akherat ataupun dunia, juga surga maupun neraka. Masa-masa di mana yang ku tahu
hanya bermain, dan menggendong tasku. Masa-masa di mana aku menjalani hari-hari
tanpa ada Bapak dan Ibu di sampingku. Hanya Nenek dan Kakek juga Mbokdhe yang
senantiasa berbagi kasih sayang denganku. Wekksss... kok sampai sini?!!
Sudah...
lupakan! (–_–ʺ)
Sampai
mana ya tadi?
Oh
iya... soal adikku yang nyanyi tadi ya?!
Betul!
Aku
nggak habis pikir (cie elah! :P) kenapa tu bocah-bocah yang belum bisa bedain,
mana merah, mana ijo aja sekarang
omongannya pada kayak gitu! Kenapa sekarang bocah-bocah yang pada belum bisa ngusap umbel-nya sendiri aja nyanyiaannya pada ngalor-ngidul entah denger dari mana tu lagu. Aku aja dari awal
masuk sampai penghujung TK aja lagunya itu-ituuuu terus. Of course, tik-tik bunyi hujan! Sekarang? Abe-abe-abe... pada hapal
deh tu lagunya boy-bend boy-bend dan segala perangkat kawan-kawannya. Kalau
suruh bergaya dan bernyanyi ala mereka... beh! Udah, deh. Nggak usah dijelasin
semua pasti udah pada tahu!
Hah??
Apaan? Ya ampun... masak aku bilang gini ada yang nyletuk : alahh... kamu iri
kan jamanmu dulu nggak ada kayak begitu!?
Ngomong
apaan, sih!? Yang bener aja, dong!! Gila... aku dikatain iri sama jamannya tu
bocah-bocah? Hah?? Nggak salah denger, tuh!? Ciyus? Nggak salah denger?!
Kagak ya... aku justru bangga. Jamanku itulah
justru yang patut diacungi clurit. Eeehhhh... jempol! Jempol bro jempol! Maaf,
narsis dikit nggak apa-apa, ya!
Dulu...
(eehhh... kok kayak kata-kata iklan pengobatan itu, yak!?).
Serius,
nih!
Dulu...
ketika aku kecil, Ibu guru selalu mengajariku bernyanyi. Ya... nyanyi. Namun
itulah. Bernyanyi mendendangkan bermacam-macam lagu. Ya! Lagu-lagu yang berisi
tentang keindahan alam, kekaguman terhadap segala sesuatu yang menakjubkan,
juga lagu-lagu kebangsaan. Walau cuma lagu, aku merasakan kahanyutan dalam lagu
itu. Hati ikut senang, dan gembira.
Hmmm...
apalagi kalau tembang yang diajarkan oleh Nenekku. Bee... haluuuss, pisan! Tembang jawa yang begitu luwes dan membuat siapa saja enak
mendengarnya. Maklum, coy. Nenekku, waktu muda dulu (ya elah... dulu lagi, dulu
lagi!) adalah seorang sinden. You know
sinden. Apa?? Nggak tau? Ya ampun... kalian orang mana, sih!?
Berhubung
aku baik, tak kasih tau ya (wkwkwk).
Sinden
adalah seorang yang bernyanyi pada acara-acara kethoprak ataupun wayang. Yang
pake kebayak, perhiasan, sama kondhe itu lhoo....
Nggak
ngerti juga?? Ampun, deh.... gini aja. Tahu OVJ, kan? Na, itu juga kethoprak
tu. Kethoprak modern. Ibarat OVJ, nenekku adalah Dewi Gita-nya. Yang nyanyi pas
mau iklan itu. Udah tahu kan, sob??! Pinteerrr J.
Lagu-lagu
yang didendangkannya begitu mengenakkan dan membuat hati terasa tentram.
Apalagi kalau pas mau tidur, tu. Bangunnya langsung jam 11 deh. Walau aku belum
tahu makna yang terkandung dalam lagu itu. Hehe. Bahasanya tingkat tinggi, sob!
Tahu sendiri kan kalau bahasa jawa itu bertingkat-tingkat. Ya begitu deh.
Haahhh...
dan kini setelah aku mengenyam bangku sekolah bertahun-tahun. Akhirnya aku
tahu. Ampun, deh... indah benget maknannya. Walau gaya bahasanya itu begitu
rumit, tapi bener-bener luhur nilai-nilai yang ada di dalamnya. Subhanallah
banget!! Yupp! Nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai dalam bermasyarakat,
nilai-nilai adab, juga nilai-nilai religi. Yahhh... hebat banget ya Sunan
Kalijogo. Beliau adalah salah satu walisongo yang menyebarkan Islam dengan
media budaya. Lewat wayang kulit, tembang dan kebudayaan yang lain. Semua itu
ia tempuh agar Islam mudah diterima. Karena berpadu dengan istiadat mereka
sebelumnya. Semua kan perlu proses. Betul nggak, sob?
Apalagi
dongeng dan cerita-cerita yang disajikan Kakung-ku dulu. Wahh banget! Begitu awsome, bagiku. Walau aku sadar kalau
semua itu hanya imajinasi, khayalan, dan tidak realistis, alias fiktif! Tapi
jangan salah. Amanatnya nih... mampu meruntuhkan bumi dan seisinya saking TOP
BANGET tu pesannya (ampun deh... alay lagi! -__-). Kata Amel Carla ni,
bener-bener ‘beee’!
Tapi
sekarang?? K
“Engkau bidadali, jatuh
dali sulga...”
Busyett.
Adikku nyanyi lagi. Lagu apaan lagi, tuh!? Tambah sedih deh diriku L.
Hiks! Hiks! Bapakku aja ndomblong.
Kenapa anak bungsunya yang sepantasnya belum tahu apa-apa, bisa-bisanya nyanyi
lagu begitu!? Haahhh. Sampai Bapak berdeklamasi dan mengajari dengan keringat
bercucuran lagi susah payah, adikku nggak mau dengerin. Bapak ngajari nyanyi
lagu naik-naik ke puncak gunung, adikku menerjang dengan suaranya yang melolong-lolong
menyanyikan lagu yang entah nemu dari mana, melawan ajaran Bapak. Hadewhhh....
Naik-naik
ke puncak gunung aja nggak mau, apalagi cublak-cublak sueng!?
Kemana
besok Jawaku ketika anak-anak kecil sebagai generasi kita aja sudah
terkontaminasi dengan hal-hal yang menurut sebagian orang sepele dan tak jarang
diremehkan. Jalankan anak-anak kecil, angkatan kita aja udah kayak gini.
Termasuk juga aku! Kemana besok Jawaku ketika generasi setelah kita saja tidak
tahu bahkan tidak mau tahu budaya sendiri. Bagaimana dengan generasi
selanjutnya!?
Lagi-lagi,
kemana Jawaku nanti?
Ketika
ada orang ditanya, siapa kamu? Kerap kali aku mendengar mereka menjawab nama
masing-masing. Adapula yang menjawab, aku seorang pelajar, mahasiswa, anak Pak A, putra Pak
Lurah, cucu Mbah Wiyono, dan sebagainya. Juga pasukan Tonti di sekolahku, tentu
akan menjawab : Tonti Saba. Bahkan ada seorang temanku yang bercanda : hamba
Allah. Kalimat itu membuat tawa seisi kelas menggelegar. Lho? Apa salahnya? Di
berkata benar.
Tapi
adakah saat ini ketika dia ditanya : siapa kamu? Aku cah n-Jowo (aku anak Jawa). Jika ada, kan ku beri dia... kan ku
beri dia... kan ku beri dia ucapan selamat atas adaptasinya mempertahankan
identitas dirinya.
Aku?
Tentu. Amat bangga dengan orang Jawa. Walaupun ku akui bahwa diriku belum
sepenuhnya menerima warisan dari buyut-nya buyut kita, dalam artian belum
sepenuhnya mengenggam erat dan melestarikannya dengan baik. Tapi lihatlah,
betapa kita dipandang polos, dipandang lugu. Mereka memandang kita memiliki
etika dan sopan santun yang tinggi. Apalagi dengan bahasa kita yang membuat
orang tertidur-tidur saking lembut dan slowly-nya.
Wali
kelasku pun berkata : apa bedanya gangnam
style dengan kuda lumping dan jaranan? Bukankah sama? Tapi mengapa anak negeri
sendiri lebih beramai-ramai untuk memeriahkan budaya dari luar itu. Padahal
kebudayaan mereka berada di ujung jarum pentul?!
Bukan
itu kawan... sama sekali bukan! Bukan salahmu, salahnya, ataupun salah mereka.
Jika kau berkata ini salahku, oke. Tak masalah. Karena memang aku hanya ngomong
doang. Nggak konsekuen. Itu memang tidak salah. Aku banget, tuh!
Tapi...
bukankah kita berjuang sama-sama?
Itu
semua tak masalah jika kau mempersalahkanku. Jika kau katakan ini salah Tuhan
karena dia menakdirkan budaya kita sendiri terpinggirkan itu yang jadi masalah.
Bukankah kita juga memiliki tanggung jawab untuk memegang dan merawatnya
baik-baik?
Kita
diberi sebuah potensi yang luar biasa oleh-Nya, dibanding negara lain. Tanah
subur, tambang melimpah, dan juga keanekaragaman yang begitu subhanallah di
mata dunia. Baik hayati, bahasa, dan budaya. Itu hanya segelintir dari yang
terkuak. Yang belum terkuak mungkin banyak.
Siapa tahu tanah di tempatku berdiri saat ini, bumi Kretek menyimpan bertrilyun-trilyun
ton permata 500 karat!
Waaaa...
siapa yang tahu!? Lalu, apalagi?
Bukankah
keberlangsungan kebudayaan kita sendiri, saat ini ada di tangan kita? Kita-lah
yang menggenggamnya! Dia hanya memberikan-Nya dan mengatur segala sesuatu yang
perlu?!
“Emang
penting, ya?”
Weladalah...
bangett, sob! Mau? Nge-les-in Bahasa Jawa cucumu ke Amsterdam suatu saat nanti?
Mau? Nganterin buyut ke Amerika cuma buat kursus main alat musik jawa alias
gamelan?! Mau?? Hahhh!!?
Kalau
kamu mau, ya silahkan. Kalau aku sih kagak! Mending bensinnya buat beli kandang
kambing! Ya, nggak?!
Yang
terpenting kawan, jangan sampai kita kehilangan identitas kita. Aku begini
bukan maksud apa-apa J. Aku juga sama seperti kalian. Bahkan
mungkin lebih payah. Maka dari itu... maukah menemaniku berjuang untuk menjaga
dan mempertahankan karakter kita sebagai bangsa Indonesia?! Menjadi generasi
cinta budaya yang akan selalu bangga terhadap Jawa, maupun budaya yang
lainnya?! Siap berprestasi dan melecutkan nama baik bangsa dan negara?!
Buat
anak Jawa, ingat : Wong Jowo aja jawal
Jawane. Kalem aja dan jangan ragu untuk katakan pada mereka : aku anak Jawa
yang memang tinggal di desa. Namun, kami akan selalu siap untuk memajukan
bangsa dan negara. Juga tidak akan pernah terima jika bangsaku di jajah oleh
anak negeri sendiri.
Komentar
Posting Komentar