Sepenggal Cerita di Suatu Tempat
Kawan, izinkan aku menceritakan sebuah kisah. Bukan. Lebih
kepada seseorang. Bahwa di sebuah kampus tempatku menimba ilmu, ada sebuah
tempat para mahasiswa-mahasiswa memuaskan perut mereka. Sebut saja tempat itu
foodcourt. Kesenjangan pengunjung dapat dilihat dengan mudah. Yang laris
terlalu laris (sampai beberapa kali harus menunggu lama banget-nget-nget saking
antri pesanannya), dan yang sepi juga terlalu sepi. Sampai kau tahu kawan? Baru
saja aku berdiri di depan kedai mereka, si penjual dengan ramah lagi riang
gembira menyambutku, menanyakan dengan perhatian terhadap apa yang ingin
kupesan. Hmm. Itu sedikit membuatku... ternyuh.
Dan kawan, ada beberapa yang seperti itu memang. Riil.
Nyata. Sungguhan. Bener. Suwer. Namun, ada satu yang membuatku terkesan.
Membuatku hatiku terasa tentram karena bahagia ketika mengingatnya. Yah, memang
seperti itu kan kebaikan? Menenangkan dan membuat bahagia walau kita bukan
sebagai pelaku atau sasaran kebaikan itu. Melihat orang berbuat baik saja sudah
menyejukkan. Betul nggak? Apalagi ketika kau menjadi orang yang dibaikin. Hmm.
Rasanya, ya Allah... betapa Allah itu Mahabaik, telah menciptakan orang-orang
baik. Hah.
Kembali ke foodcourt.
Mari kita awali ketika aku hendak berangkat HTC (Himatika
Concert). Hari itu hari Senin, sehingga aku puasa. Bersama Alfi, aku berangkat
sekitar jam lima. Sholat di masjid rektorat lalu kami berpisah. Aku
mempersilakan Alfi duluan karena ia harus bertugas untuk meliput HTC. Yah, aku
dan dia tergabung dalam satu SDP (Student Development Program) bernama Joutech
(Journalism and Technology). Sedangkan aku harus makan dulu tentu saja. Maka
kemudian aku berjalan di kegelapan malam seorang diri untuk mencari seonggok
nasi. Halah.
Daaan... aku menemukan satu kedai yang masih buka. Seorang
ibu sedang menjaga kedai itu seorang diri.
Begitu sampai Ibu itu bertanya, “Mau cari apa, Mbak?”.
Dengan tanpa merasa berdosa aku menjawab, “Cari makan, Buk.”
Dengan sabar ibu itu berkata, “Tinggal sop, Mbak.”
“Ohh nggakpapa...,” sahutku sambil menyebutkan pesanan lain.
Sesederhana itu awal dari keterkesananku.
Selanjutnya, pada hari yang lain, aku cari makan ke
foodcourt bersama serombongan temanku. Mereka memesan makanan ke tempat biasa
mereka memesan, pokoknya kedai paling hits. Sedangkan aku, karena tidak ingin
menunggu lama, kedai yang sepi-sepi justru jadi pusat incaranku. Dan kedai yang
aku kunjungi pada suatu malam itulah yang aku datangi. Sekarang ibu itu tak
sendiri. Ada seorang bapak-bapak yang menemani. Dari sudut mata dan tulang
pipinya, aku dapat melihat aura keramahannya. Bukannya aku sok tahu. Orang yang suka tertawa dan tersenyum itu...
dapat dilihat tanda-tandanya bukan? Termasuk bapak tua itu. Tua? Iya. Karena
rambut di kepalanya sudah memutih, walau aku tak bisa melihat seluruhnya karena
tertutup kopiah warna serupa. Selalu, tak pernah tidak, Bapak itu tersenyum
setiap ada pengunjung yang datang dan saat mengantarkan pesanan kepada mereka.
Aku berusaha untuk membeli makan di sana, walau tak selalu. Karena... apa ya?
Pengen aja gitu. Seperti ada suara hati yang membisiki untuk memilih kedai itu.
Semua berawal dari memberikan pelayanan terbaik. Tiada sesuatu yang paling
membahagiakan kecuali kebaikan bukan?
Komentar
Posting Komentar