[ Ngoceh ] : Ngomongin Proyek
Voila!
Akhirnya, Rini datang kembali dengan pesona yang tak pernah mati. (muntah
berjamaah)
Akhirnya Ujian Nasional sudah berlalu. Awal-awal libur sih masih biasa,
masih bisa menikmati. Tapi makin ke sini, kok makin mboseni?
Setiap kali beroleh kesempatan sendiri, selalu saja pikiran ini
terbayang-bayang oleh masa-masa yang sudah berlalu. Rasanya otak dan hati
campur aduk. Seneng? Bahagia? Sedih? Galau? Bingung? Entahlah. Mungkin percampuran
antara semuanya.
Dan aku kemudian berpikir... hei! Hal besar apa yang sudah kulakukan di
SMA ini?
Dan aku mulai merasa payah ketika kutemukan jawaban : nothing.
Minggu-minggu setelah Ujian Nasional, aku malah sering merenung. Seperti berpikir... sumpah?? Ini udah selese!?? Aku nggak lagi lucid kan, yaa? Di mana ini adalah mimpi dan aku
bisa mengatur mimpi ini sekehendakku, seperti yang kulakukan saat ini. Tapi
ketika kutanyakan kepada teman-teman pertanyaan yang sama, mereka bilang :
BENERAN! KITA UDAH NGGAK SEKOLAH LAGI!
Apa kata yang tepat untuk menyahut jawaban itu? WOOWW! aja kali, ya?
Yang jelas, I’ll always love my
high school, the buildings, the people, and everything about it.
Oke, sekarang kita masuk ke bahasan yang sebenarnya (ngomongin projek).
Saat aku lagi browsing-browsing, aku menemukan info bahwa writing competition yang
kutunggu-tunggu, akhirnya keluar lagi. Yap, itulah PSA. Sebuah sayembara
menulis yang diadakan Grasindo untuk menjaring penulis-penulis berpotensi.
Dan... aku sedikit kecewa. Tema yang diusung adalah K-Novel (untuk fiksi).
Padahal, pengetahuanku tentang Korea sangat minim. Kalau Korea diibaratin
orang, maka yang kutahu sebatas tahi lalatnya doang.
Ketika sedang rindu banget sama sekolah (halah, padal juga emang mau
ngembaliin buku), aku berangkat dengan menaiki motor grand tua milik Bapak. Sampai sana, aku menuju perpus. Dan... aku
adalah salah satu dari dua orang kelas tiga yang ada di ruangan itu. Sisanya,
Mbak penjaga tentu saja. Karena nggak mau rugi, udah jauh-jauh masak cuma
ngembaliin buku doang, aku memutuskan untuk melekat di salah satu kursi
kemudian meraih salah satu buku. Beruntungnya aku memperoleh buku bagus. Buku
kumpulan ceritanya Dee : Madre.
Kubaca buku itu sejak dari halaman pengantar; ditulis oleh sang editor
pilihan Dee dan juga Dee sendiri. Ada kalimat yang membuatku seperti bangkit.
Katanya, penulis yang baik memang yang menuliskan apa yang ia ketahui. Namun
penulis yang lebih baik itu yang mau memperkaya diri untuk menuliskan apa yang
kebanyakan orang tidak tahu (kurang lebih bunyinya kaya gitu. Lupa, sih).
Maka dengan sentilan itu, aku berusaha untuk mengetahui sedikit demi
sedikit tentang Korea. Kupinjam buku yang bernapaskan Korea, dan kutonton lagi
drama-drama Korea yang ada di laptop. Hasilnya?
bacaan yang diharapkan membangkitkan semangatku |
Semua itu tetap saja tak membuat geregetku terpompa. Coretan outline
yang berisi masalah pokok itu berhenti di tengah jalan, dan aku, tak sedikit
pun berminat untuk melanjutkan. Jadi, apa frasa yang tepat untuk menggambarkan
semua ini? Putus asa? Tepat.
Aku berhenti, memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam kompetisi
menulis itu.
Pada suatu waktu, aku teringat tulisan-tulisan Dee di Madre. Aku merasa
bahwa karya sependek apapun yang ditulis oleh Dee, adalah hasil dari perenungan
yang amat panjang dan mendalam. Benar-benar sebuah karya yang... omaygat, ini keren gila sumpah!
Teringat lagi naskah-naskah yang kutulis. Naskah-naskah kacangan yang
tak pernah lahir dari hati. Iya, masih dari pikiran. Padahal kan, berkarya itu
sama aja kaya berdakwah. Ketika kita menyampaikan sesuatu dengan mulut, maka
akan diterima oleh telinga. Ketika kita menyampaikan sesuatu dengan pikiran,
maka akan diterima oleh pikiran juga. Sedangkan jika kita menyampaikan sesuatu
dengan hati, maka, orang-orang juga akan menerimanya dengan hati. Itu yang membuatku kemudian merenung lagi. Membuat
hari-hariku yang sudah sedikit cerah kembali meredup. Kemudian, aku menghela
napas lalu bilang pada seorang kawanku, “Aku pengen nyeriusin naskahku.”
Dengan keinginan dan tekad itu, aku mulai berpikir untuk membuat proyek
baru. Yahh, itung-itung ngisi hari-hari yang sepi (elah). Daripada galau-galau mulu.
Hari-hari sebelum memulai kalimat pertama, aku banyak-banyak membaca.
Mempelajari bagaimana para penulis-penulis besar mangawali ceritanya. Dari
awal, aku udah punya keinginan membuat cerita yang... yah, unik tapi realistis.
Tentang persahabatan, cinta, dan keluarga. Tema yang mainstream sih. Tapi, asal kita bisa mengolahnya dengan baik, pasti
ada satu sisi yang membuat pembaca tertarik.
Aku merenung, memikirkan sebuah konflik sampai berhari-hari. Yang
kulakukan hanya duduk manis di kursi, diam di ruang tamu, atau tidur,
memvisualisasikan segala konflik-konflik yang berkelebat, mencoret-coretnya di
buku tempatku akan memulai cerita.
Remember When adalah tempatku mempelajari penggambaran dan penceritaan karakter dan konflik
yang terjadi dalam sebuah persahabatan.
One Meaning Thousand Ways I
Love You adalah tempatku mempelajari ending yang
nyesek, konflik cinta segitiga, cinta yang nggak harus memiliki, mempelejari
bagaimana merelakan, dan mengikhlaskan. Sumpah, saking nyeseknya, aku tidur
dengan masih membawa luka yang Arian rasakan. Pokoknya bener-bener ngena
dihati. Ngejlep banget! Aaaakk, Arian :***
Menghabiskan novel ini selama... berapa ya? 4 jam kayaknya. Kukira
lebih cepat daripada ketika aku menyelesaikan Remember When. Bahkan aku sudah tidak tahu jam berapa ketika aku
menyelesaikan Remember When.
Semalaman suntuk. Gara-gara... of course,
jalan cerita yang selalu bikin penasaran. Seakan, aku akan dibayangi ending
yang bergelayut jika aku tidak menyelesaikannya malam itu juga.
Middle School : Get Me Out Of
Here adalah tempatku mempelajari menemukan ide-ide
unik. Ide-ide gila yang kreatif. Cerita-cerita sederhana yang diakhiri
penyelesaian yang luar biasa. Pokoknya, Robert Patterson membantu banget.
Dan terakhir, Rainy’s Days.
Ceritanya nge-dark juga. Masalah yang
timbul akibat bentrokan antara keluarga dan cinta. Ketulusan mencintai, itu
yang bisa aku simpulkan.
Itulah buku-buku yang akan menemani pengerjaan proyek ini. harusnya
masih ada satu lagi, novel sastranya Hamka –Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Tapi, buku itu udah aku kembaliin ke perpus. Niat untuk nguntit itu buku gagal
total karena kalau enggak dibalikin, ketahuan banget! Heheh *dasar anak nakal*
Now, this projeck still in progress.
Lagi pengenalan konflik. Nggak sabar buat sampai di
grafik konflik. Yah, yah... semoga aja, kemalasan jauh dariku sehingga proyek
ini rampung dengan baik dan lancar.
Buku sakti pengerjaan proyek sakti :D |
pada kenyataannya ini bekas buku basa jawa :3 |
corat-coret plotting |
Kalau kamu? Apa yang lagi kamu lakuin? Mengerjakan proyek (apapun
bentuknya) juga kah? :D
Komentar
Posting Komentar