[ Cerpen ] : My Sweet Rain
Sudah
cukup lama aku mematung. Rasa pegal tak juga mampu membuatku enyah. Mataku fokus
memandangi udara hampa di hadapan meskipun orang yang kuharapkan tak juga muncul
dalam bayangan. Udara dingin mengusikku, membuatku mendongak hingga kutemukan
segerombolan awan kelabu berjajar pekat di atasku. Aku menghela napas, kembali
memandangi hamparan daratan yang luasnya tak sanggup dicapai oleh indra
penglihatan.
“Woy,
Luuut! Jadi berangkat nggak, nih?” tanya seseorang dari arah belakang yang membuatku
menoleh. Kupandangi ia sekilas, tersenyum asimetris, kemudian kembali
memandangi apa yang semula aku pandangi. Kumasukkan kedua tangan ke saku
celanaku.
“Keburu
hujan ini, Broh!” seru Amir seraya menepuk pundakku. Menyaksikan ketermenunganku,
Amir melingkari pundakku. “Udahlah... Lian bakalan baik-baik aja di sana!”
hiburnya seakan tahu apa yang berkecamuk di dalam pikirku. Aku hanya tersenyum
kecut. “Cuma empat tahun, elah! Masak ngampet bentaran nggak bisa, sih!?”
celetuk Amir disusul tawa kecilnya. Mau tak mau aku ikut terkekeh dan menoyor
kepalanya.
“Ngampet?
Kamu kira aku kebelet kencing!” sahutku akhirnya. “Lagian siapa sih yang
mikirin itu.”
“Halah,
jangan berdusta kau yaa... nanti ilang, loh!”
“Ehh...
jangan, dong!”
“Eaaa...
ketauan nggak mau kehilangan,” goda Amir gencar.
“Cerewet.”
Kulepas rangkulan Amir yang masih cengengesan dan kemudian segera beranjak,
“Udah, buruan! Keburu ujan!!”
“Elah...
tadi aku ajakin berangkat malah bengong. Sekarang malah ninggalin. Kampret
banget emang lu!” tutur Amir yang kemudian menyusulku memasuki mobil.
Pemuda
jangkung itu duduk di sampingku bertepatan dengan dinyalakannya mobil jaguar
hitam oleh Pak Amin –sopir Amir yang mahasetia. Aku menengok ke kaca jendela,
memandangi jalanan luar yang mulai digemparkan oleh mendung. Hatiku sesak
mengingat sesuatu. Kali ini aku benar-benar akan pergi. Dan ke mana hujan
terkasihku itu?
Tuhan...
aku ingin bertemu dia untuk yang terakhir kali.
Untuk
yang terakhir sebelum perantauan ini membuatku tak mampu lagi memandanginya.
Aku mohon.
***
“Lutfaaan!!”
panggil seseorang menyentakkan aku.
Bukannya
bangun, aku malah menguap. Menggeliat merdeka dan semakin merekatkan sarung
hijau kotak-kotakku karena hawa Puncak Merbabu begitu menggigit. Nampaknya sang
pengganggu itu tak menyerah. Ia tarik sarung dan terus memanggi-manggilku,
“Lutfaaan... Lutfan! Luuut... faaan!!”
“He?”
sahutku akhirnya bangun. Terlihat gadis di depanku tersenyum puas. Alis mataku
makin berkerut. Menunjukkan bahwa aku sedang tak mau diganggu. Dengan cepat aku
kembali merebah. Pendakian panjang selama sehari penuh sudah cukup membuatku
kolap.
“Yaelah
malah tidur lagi. Bangun Lutfaaan... temen-temenmu aja udah pada lari pagi, noh!”
pekiknya lagi.
“Ya
kali orang gila lari-lari di gunung,” sahutku sebelum akhirnya menutup sarungku
rapat-rapat.
“Ihh...
terserah, sih. Udah mending aku tungguin. Kalau enggak... kamu nggak ada temen
ke kawah Candradimuka,” jelasnya yang benar-benar membuat rasa kantukku menguap
seketika.
Aku
bangkit, memandang Lian dengan mata terbelalak. “Mereka udah pada ke sana? aku
ditinggalin?”
Lian
justru tertawa kecil dan untuk beberapa saat aku terpana oleh renyah suara dan
mata beningnya. “Makanya ayo cepetan!” serunya yang kali ini membuatku
tergerak. Segera aku membasuh muka dengan air mineral dan menyusul Lian yang
sudah berjalan duluan.
Di
awal perjalanan, kami saling diam. Tak ada tanya dan perkataan sececap pun. Aku
sudah biasa dengan suasana seperti ini karena memang, aku terkenal pendiam di
kalangan teman-temanku. Tapi yang kulakukan tadi... tidak mencirikan orang
pendiam. Yah, begitulah orang introvert justru akan berubah ekstrovert jika
bersama orang-orang yang nyaman dengannya. Jadi, aku nyaman dengan Lian?
Berbeda
dengan Lian yang biasa hiperaktif tampak tak tahan dengan kebisuanku. Terbukti
dengan terlontar pertanyaan seadanya darinya.
“Kamu
besok mau ke mana, Fan?”
“Maksudnya?”
tanyaku sambil menyejajari Lian.
“Kuliah!”
tegasnya tanpa mengendurkan senyum.
“Doain
aja aku bisa ke UI!” jawabku seraya tersenyum lebar.
“Wuih...
jadi anak rantau, dong!” katanya sambil tak melepaskan matanya ke pemandangan
sekeliling.
“Kamu?”
aku balas bertanya dan menoleh kepadanya.
Lian
mengerling. Simpulan senyumnya makin terkembang. “PGSD,” jawabnya penuh binar.
Aku
ternganga. “Ha? Kamu kan pinter, Li.”
“Loh?
Bukannya PGSD itu grade-nya paling tinggi sefakultas keguruan, ya? Emang kenapa?
Salah? Lagipula, dunia anak-anak itu duniaku juga,” jawabnya yang membuatku
terperangah.
Ternyata
Lian memperhitungkan kesenangan batin. Bukan sepertiku yang hanya memenangkan
gengsi.
Obrolan
kami terus berlanjut. Bahkan aku heran dengan diriku sendiri. Bisa-bisanya aku
mengimbangi kecerewetan Lian. Padahal lagi-lagi, aku ini pelit bicara. Sungguh.
Yang
jelas, aku selalu senang melihat keceriaan Lian. Keceriaan yang selalu
menghasilkan kesejukan tawa. Lihatlah bibir tebal yang terkembang dengan
sempurna, pipi ranum yang selalu terangkat dan janggut yang meruncing tatkala
ia tersenyum. Sungguh melukiskan senyum tulus dan keindahan makhluk Tuhan yang
mahaagung. Mata bulat berbulu mata lebat, yang setiap bertemu dengan mataku
membuat dadaku memanas dengan denyut jantung berdebar tak tentu. Bahkan siapa
pun tak tahu jika ia adalah orang yang diam-diam menyelinap di hatiku sejak
pertamakali aku mengenalnya di SMA ini.
***
Langit
gegap gempita, memunculkan halilintar yang membuat beberapa penghuni stasiun
menciut. Tak seperti penerbangan, tentu saja perjalanan kami dengan kereta akan
tetap dilakukan.
Sepuluh
menit sebelum jadwal keberangkatan dan kata untuk berpisah belum juga kukatakan.
Derita calon anak rantau yang kehabisan pulsa!
Langit
yang beberapa menit lalu hanya gerimis kini benar-beanr menumpahkan hujan. Dan
aku benar-beanr heran... kenapa orang-orang justru menggerombol ke depan pintu
masuk gedung utama stasiun bukan malah berlindung ke dalam?
“Luuutt!”
seru seseorang heboh di antara gerombolan manusia. Kutemukan Amir berlari
terseok-seok ke arahku. “Sumpah. Lo. Harus. Liat. Ini!” katanya terputus-putus
karena tersengal.
Dengan
cepat Amir menggeretku untuk ikut berhambur ke keramaian.
Dalam
deburan rintik hujan itu, dapat kudengar suara angklung dan genderang drum mengalun
begitu semangat. Kini aku benar-benar di barisan terdepan dengan Amir berdiri
tegap di sampingku. Terlihat sekumpulan anak-anak berjoget, menarikan modern dance di bawah kucuran hujan.
Mereka menari dengan enerjik diiringi angklung dan seperangkat drum. Sekilas terdengar
seperti angklung malioboro, tapi ini begitu spektakuler!
Penonton
bertepuk tangan begitu penari-penari cilik itu memungkasi tarian dengan
menggelar sebuah spanduk di hadapan penonton serempak. Dan aku tercekat ketika
membaca tulisan yang ada di sana : Selamat Jalan Kak Lutfan!
Mendadak
pikiranku terbang ke sosok yang biasa dekat dengan mereka.
Anak-anak
itu membuka jalan untuk seseorang dari arah belakang. Kini aku benar-benar
ternganga. Dugaanku itu benar adanya. Aku tahu, dia tak akan membiarkanku pergi
begitu saja.
“Makasih
buat semuanya. Ini luar biasa banget tau nggak?!” kataku begitu di hadapan
gadis itu. Ia tersenyum, membuat mataku tak bisa lepas dari selainnya. Kini aku
benar-benar basah kuyup, namun aku tak peduli. Satu yang kusuka dari hujan : ia
mampu menyamarkan tangis dan air mataku.
“Alyanna
sayang banget sama Lutfan. Baik-baik di rumah orang, ya!” pesannya yang
membuatku sesak. Aku benar-benar tak mampu lagi untuk menahan diri untuk tidak
memeluknya. Dapat kudengar Lian terisak, dan mendengarnya membuatku sakit.
Seperti
hujan yang merupakan anugrah yang turun untuk membuat basah tanah yang
kekeringan, Lian merupakan anugrah yang diberikan Tuhan untukku, membasahi hati
dan dunia mudaku yang kering kerontang. Seperti hujan yang mampu menyapu debu,
Lian mampu menyapu perangai negatifku karena ia tak akan pernah membiarkanku
berbuat yang tidak semestinya. Lian memang hujanku. Hujan terkasihku.
“Kita
harus berangkat,” kata seseorang yang membuatku melepas Lian dengan cepat.
Aku
mengangguk pada Amir dan mengusap puncak kepala Lian untuk yang terakhir kali.
“Baik-baik
di sini,” ucapku seraya melangkah. Lian tersenyum, melambaikan tangannya pelan
dan dapat kulihat ia berkaca-kaca.
Aku
berbalik, menghela napas, dan menemukan pintu masuk gedung utama stasiun sudah
lengang. Aku memang harus melanjutkan perjalananku. Adalah bodoh jika aku tetap
di sini hanya karena dia.
Tidak,
mimpiku lebih besar dari itu semua. Aku harap, hujan selalu menemaniku di
perantauan sana sehingga aku dapat merasakan dia di dekatku setiap waktu.
---------------------
Cerpen ini diikutsertakan dalam Give Away "Hujan dan Cerita Kita"-Stephie Anindita.
Wih.. cerita tentang perpisahan dan hujan. Rapi banget cerpennya, ceritanya juga bagus. Btw, tadi sempat ngebayangin pasa baca 'tersenyum asimetris', hahaha. Itu senyum dengan bibir kanan-kirinya ga sama apa gimana?
BalasHapus*Semoga menang give away-nya
terimakasih kak Renggo... seneng deh baca komenmu :)
Hapustersenyum asimetris itu kayak orang kalau ngejek itu lho. tersenyum miring.
*amiiiinnn semoga emang gitu*
makasih sekali lagi!