One Day with Mbah Sarwo

Setiap makhluk hidup pasti pernah ngrasain yang namanya capek (oh ya? ikan pernah capek nggak ya?). Sama kayak aku. Nggak bisa terus-terusan kerja dan melakukan aktivitas yang overload, karena of course, aku bukan robot.
Cerita ini bermula, ketika hari evektif sekolah kembali dimulai. PR, Tugas, dan pelajaran yang menegangkan kembali menghampiri. Semua berjejalan, membuatku mau tak mau pontang-ponting mengerjakan dan melaksanakannya. Yang membuat tenagaku menurun. Membuatku mengalami 5L : letih, lemah, lesu, apa lagi...? (itu anemia mbel!)
Oke.
Itu hanya prelude sih, kejadian yag sesungguhnya... dan sebenarnya nggak sesungguhnya juga *lhah!*. Adalah pelajaran olahraga. Minggu sebelumnya santai, cuma suruh jalan-jalan. Minggu berikutnya, lari keliling desa Sumuran sebanyak tiga kali. Aku yang notabene udah nggak pernah olahraga lagi, baru beberapa meter udah kembang-kempis. Satu putaran masih mending, di barisan terdepan. Putaran kedua... udah kerek demper alias akhir-akhir. Lari tinggal hatinya doang. Mata udah memejam, kaki masih memacu, tapi tubuh, udah ngrasa nggak kuat. Kunang-kunang yang membayangi mataku mamaksaku untuk merem sepanjang perjalanan. Habis itu nimbang, berat badanku jadi 35 kilo. Etapi emang aslinya segitu sih. Lari nggak lari sama aja : 35 kilo sudah nilai stagnan. Bener banget, aku kurus bin banget. Padahal tinggiku 163 cm. Kring-kring-kring... cung to the kring!!
One day after, badan remuk. Buat gerakin kaki aja susah -__- Membuatku yang seharusnya ikut beramai-ramai memeriahkan 17-an sebagai panitia, malah teronggok tak berdaya di dalam kamar. Tapi malamnya, aku bisa berangkat karena aku bela-belain. Tak lain dan tak bukan karena aku... ikut tampil di acara pensi :)
Malam itu adalah kali pertama aku menunjukkan kemampuanku *ciaelah* di depan orang banyak. Aku ditemani oleh Mbak Ida. Dia menggenjreng gitar, aku mukulin dan nggigitin piano. Becanda! Aku  benar-benar memainkannya. Dengan lagu yang menye-menye, aku dan Mbak Ida berhasil membawakan Not With Me-nya Bondan dengan sangat sedikit cukup sukses. Halah. Tapi beneran, penonton sampai terbengong-bengong, karena of course, mereka nggak tahu apa yang aku nyanyiin. Geblek!
Dan hal yang paling aku sayangkan adalah... NGGAK ADA YANG NGREKAM PENAMPILANKUUU. HOOAAAA T_T
Tapi Alhamdulillah, tanggapan masyarakat sekitar dan orang luar –seperti KKN adalah baik. malah katanya... Kepanitian Desa Galan adalah yang terbaik di banding yang Kakak-Kakak itu saksikan. Yeyyy!
Paginya... brr. Badan nggak bisa gerak cuy. Walhasil, aku memutuskan untuk nggak berangkat sekolah. Tapi... aku harus berhadapan dengan seseorang. Dia adalah penguasa ilmu dari segala ilmu yang cukup mumpuni dalam bidang yang masyarakat tentu banyak yang mengetahui. Ilmu di mana di tangannyalah orang-orang lemah dapat kembali tegar, orang yang loyo dapat kembali bugar. Ilmu perpijetan adalah bidangnya, dan orang itu... tak lain dan tak bukan adalah Kakak dari simbahku. Dia adalah .... * eeeng iiing eeeng* tadaaaa : Mbah Sarwo.
Mbah Sarwo ini udah lama menekuni dunia perpijetan. Dia adalah Kakak Mbahku, jadi wajar kalau Mbahku juga pintar masalah mencari salah urat dan sebagainya. Kemampuan memijat juga turun pada Bapakku, cuma beda aliran aja sama Simbah. Kalau Mbah Sarwo dan Mbahku kan aliran ekstrim, pijet jaman dulu, dan pake jamu-jamu gitu. Tapi kalau bapak, lebih ke totok-totok apalah itu. Dan sedikit sadar, ilmu perpijetan itu menurun kepadaku. Entah mengapa, kalo temen mengeluh capek aku juga bisa ngrasain dan pasti pas waktu mencoba memijit. Eleh, ini nggak penting.
Pagi itu aku benar-benar kayak menghadapi malaikat maut. Asli, mijitnya ekstrim banget. Udah ditusuk-tusuk, dipelintir, terus dipatahin lagi. Yang paling bikin aku worry adalah pas baliau pegang kepalaku dan dalam hitungan detik... grekk! Palku dipelintir dan aku, keget bin takut. Tapi akhirnya, beberapa menit kemudian penyiksaan itu berakhir juga. Hasilnya... bangun tidur badanku... tetep sakit. Ya walau pun nggak begitu sesakit awal, sih. Hehe, punten dan nuhun ya Mbah :*
Yang pasti, aku bersyukur masih ngrasain jaman yang begini. Jaman yang masih tergantung kemampuan dan olah tangan manusia secara manual, salah satunya pijet. Tahu sendiri pijet sendiri sekarang udah tergeser dengan alat-alat modern macam bantal terapi, penyinaran dengan sinar apa itu, dan pokoknya hanya tinggal pencet tombol on nggak pake ribet. Dan aku sekarang prihatin, orang-orang macam Mbah Sarwo sekarang udah jarang, bahkan hampir nggak ada penerusnya. Harusnya Mbah Sarwo dimasukin ke Marga Human dong ya, alias penangkaran spesies manusia langka. Eh. Ampun, Mbah *diplintir Mbah Sarwo* Coba kalau orang-orang pengguna alat-alat modern itu tahu perasaan Mbah Sarwo... sakitnya tu... disini! *nunjuk dompet*

Yah, semoga aja Mbah Sarwo selalu semangat dan tetap semangat.

Komentar

  1. aku lagi ngebayangin gimana bentuk orang yang tingginya 163cm, tapi beratnya cuma 35kg :'

    BalasHapus
  2. @Febri Dwi Cahya : kayak tripod yang kau mainkan itu kak! tinggi dan atos. tapi plis, jangan dibayangin. aku sudah cukup terbully dengan ini -,-

    BalasHapus
  3. aku gak ngebayangin tapi bener bener liat :D

    BalasHapus
  4. @Fahmay : iya, you can see this tragedy *eh* this fenomena everyday, right? :| semoga mripatmu tidak sepet may. beri aku daging may T.T *EEK*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SO7 : Pertama dan Selamanya

FREEDAY OR ANIDAY WHATEVER

Nggak Penting~