[ Inilah Aku! ] : The Real Of Love
Di tengah malam, aku
terbangun. Entah, akhir-akhir ini aku merasa ada sebuah kekuatan yang
selalu membangunkan aku. Tapi kali ini karena rasa sakit yang
kurasakan.
“Hhh....”
Desahku sambil
menahan rasa sakit. Kepalaku berdenyut hebat. Tulang-tulangku terasa
nyeri dan terasa sakit bila kugerakkan. Badanku begitu remuk, bak
sehabis jatuh dari ketinggian ribuan kilometer dan terhujam di
bebatuan yang amat curam. Otot-ototku terasa kaku. Tiba-tiba,
denyutan itu kian menggila.
“Mak...,”
panggilku pada ibuku dengan berat.
Tak ada jawaban.
Terang saja, semua tentu tertidur lelap di tengah malam begini. Namun
aku berusaha memanggil ibu kembali. Kali ini, ia menyahut. Terdengar
bunyi langkah kaki menuju kamarku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang
bisa keperbuat hanyalah mengeluarkan desahan. Mendengarnya, Ibu
memegangi kepalaku. Entah mengapa, aku merasa lebih baik saat itu.
Dia bergumam, entah apa. Yang itu membuat telingaku ikut nyeri dan
berdengung.
Ibu berjalan dan
menuju almari. Ia kembali ke kamarku membawa sebutir obat dan segelas
air. Ia membantuku untuk bangkit. Aku menelan obat yang ia serahkan.
Meneguk air yang ia bawa. Kemudian aku kembali pada posisi semula.
Berbaring tak berdaya. Ibu mengembalikan gelas, dan menuju ke kamarku
lagi. Lagi-lagi ia mengusap kepalaku. Dan itu membuatku merasa lebih
baik. Ia memijat tubuhku. Dan entah mengapa, aku terasa tenang. Sakit
itu perlahan tak tarasa karena aku terjerembab dalam tidur lagi.
Betapa beruntungnya
diriku. Masih memiliki seorang Mamak yang setia bersanding dan
menjumputi apa yang aku butuhkan. Dia begitu baik. Tapi aku selalu
menyianyikannya. Tak pernah ku patuhi perintahnya. Yang ku jawab
hanyalah sebuah penolakan bahkan hardikan ketika ia menyuruhku
melakukan sesuatu. Di saat ia terpaksa tak bisa melakkukannya, karena
tubuhnya yang begitu remuk. Ya Rabb... aku begitu jahat! Jahat!! *santai*
Namun ia tak pernah
sedikitpun menolak untuk melakukan suatu hal yang menjadi
kebutuhanku. Dia selalu ada. Dia adalah seorang yang selalu membuat
diriku berkaca, bagaimanakah seorang yang mulia? Dia lah yang menjadi
tukang pijat, tukang loundry, bahkan babu bagiku. Astaghfirullah! Dia
lah yang menjadikanku hidup. Dia, semua tentangnya!
Itu yang pertama,
ada lagi yang lainnya.
Ketika aku
diributkan dengan sekolahku, dia selalu ada untukku. Tak pernah ia
membiarkanku sendiri. Ia lah alasan yang membuatku semangat menjalani
hidup, mengejar cita, dan meraih impian. Dialah alasan mengapa aku
begitu semangat dalam menuntut masa depan. Semua ini aku lakukan
hanya untuknya. Agar dia tak kecewa. Agar peluhnya yang ia kerahkan
tak terbuang percuma. Karena ia pula, aku hidup. Belajar kehidupan,
keikhlasan, dan kesabaran. Hanya dia yang sanggup mengajariku apa itu
arti membalas budi.
Bapak!
Ya... dialah
semangatku, dan hidupku. Dialah satu-satunya orang yang mampu
mengerti aku di saat yang lain memandang sebelah mata ke arahku.
Dialah orang yang selalu menantikan kemenanganku. Dari tangannyalah
hidupku berlangsung.
Hidupku... ya!
Hidupku, dan keluargaku. Ketika aku gagal dalam mempersembahkan
hasilku, ia hanya tersenyum kecut. Tetap memompa semangatku, dan
menabahkan aku. Ketika aku terkapar tak berdaya, dia juga yang
beranjak kemari dan ke sana. Yah... bersama Mamak, dia selalu
memberikan yang terbaik untukku. Untuk kami!
Tiga : adalah
simbokku seorang wanita tua yang saat ini selalu menghabiskan desiran
sang waktu hanya di atas ranjangnya. Ia selalu menahan rasa sakitnya.
Detik-detik ia lewati, menunggu Sang Hakim memutuskan ketetapannya.
Ia selalu kuat. Selalu berusaha memberi sesuatu walau secuil, kepada
anak cucunya. Padahal tulangnya begitu renta. Namun, ia tak pernah
sekali pun meninggalkan perintah Tuhan-Nya. Walau dengan duduk,
bahkan berbaring kadang. Namun ia selalu menghadap-Nya. Lima waktu
tak pernah dibuangnya. Seringkali malah ia tambah dengan amalan sunah
lainnya. Begitu Subhanallahnya ia!
Dia. Dialah
satu-satunya orang yang selalu siap untuk mendoakanku dalam hembusan
sepertiga malam terakhirnya. Dialah Mamakku yang pertama. Orang yang
membimbingku saat aku belum tahu apa-apa. Dialah yang pertama kali
mengajariku menuliskan huruf-huruf dalam namaku. Entah... aku begitu
ingat kejadian itu. Hanya dengan menggunakan bolpen sederhana, dan
kertas bekas, kardus makanan, ia bimbing tanganku. Melukiskan huruf
R-I-N-I. Ia selalu memberiku lebih dari cucu-cucu lainnya. Entah...
aku juga tak tahu. Tapi aku merasa lebih diistemewakan olehnya.
Ketiga orang itulah
yang menduduki ranking teratas dalam kalbuku. Dalam hidupku.
Merekalah yang selalu mendongengkan kisah nyata semasa hidupnya. Dan
hanya cerita mereka yang sanggup membuat air mataku berburai,
mengalir, dan membasahi wajah serta hatiku. Karena mereka, aku
menjadi lebih luas memandang hidup ini. Asam garam dan manis gula
yang pernah mereka rasakan, seakan menjadi tonggak dalam aku
melangkah. Ya... hanya mereka pula yang sanggup mengajariku untuk
peduli pada orang-orang di sekelilingku.
Begitulah, kawan.
Kasih mereka tak main-main. Kemudian, untuk apa aku mencari-cari
cinta dari lain manusia jika sebuah cinta yang begitu tulus
senantiasa berada di sampingku? Selalu ada dalam setiap perjuanganku?
Untuk apa aku mengharap sesuatu yang nilainya nol besar dibanding
segala hal yang telah diberikan oleh orang-orang hebat itu kepadaku?
Kadang kita terlupa
kepada mereka, orang-orang yang begitu tulus membagikan kasih dan
sayangnya kepada kita karena urusan kita dengan sahabat kita, teman,
dan juga... pacar? Apapula yang ada dalam fikiran kita? Kurang apa
cinta mereka? Memangnya pantas ya, kita menukar cinta kasih mereka
dengan mereka –yang hanya kita kenal baru saja?
Sebenarnya,
kebanyakan dari kita –disadari atau tidak– lebih mementingkan
seseorang yang berpengaruh terhadap reputasi kita. Seakan dialah
penentu pandangan orang terhadap kita. Kita lebih memilih mereka.
Daripada mereka... keluarga kita! Seakan hati ini nggak mau jika
mereka –keluarga- ikut-ikutan urusan kita. Malu-maluin, batin kita.
Jika itu tidak,
bersyukurlah dan berdoalah untuk dijauhkan dari sifat yang macam itu.
Jika itu, ya! Maka sadarlah, kawan! Mereka lebih mengerti. Walaupun
kadang memang, diri ini tak sependapat, sering terjadi percek-cokan,
antara kita dengan mereka. Tapi pahamilah... bahwa itu bukti
perhatian mereka pada kita. Mereka lah yang lebih mengerti kita...
lebih dari sahabat-sahabat, maupun teman dekat. Percayalah... cinta
mereka selalu menghadirkan ketenangan jiwa, dan kekayaan ruhani.
Karena darinya, kita semakin dekat kepada Illahi Rabbi. Bersyukurlah
atas limpahan nikmat dan karunia-Nya, yang Dia selipkan lewat senyum
yang mereka ajarkan. Sehingga kita, semakin dekat dengan-Nya. Dekat
dengan orang-orang yang kita cintai, dan yang mencintai kita. Dekat
dengan orang-orang yang kita anggap berarti, dan orang-orang yang
menganggap kita berarti.
Dan lebih penting
lagi, yang paling benar, yang paling benar-benar menjadi subjek The
Real of Love ini adalah : Allah.
Ya! Allah.
Dia lah Sang Pemilik
cinta hakiki. Cinta-Nya selalu kekal abadi, tak akan pernah mati.
Cinta-Nya lah yang merupakan sebab kita hidup di dunia ini. Tanpa
cinta-Nya, kita nggak bisa napas! (hah-hah-hah). Nggak bisa berdenyut
ni jantung! (jedug-jedug-jedug). Kagak bisa ngedipin mata!
(ting-ting). Nggak bisa segalanya!!
Gila!
Ketika aku hampir
telat... (telat, sob! Telatt!) Dia membantuku lewat seorang satpam
yang bersedia menunggu. Biasanya nih, sob... baru turun dari bus,
sudah! Nggak ada ampun lagi! Kalau telat ya, telat!
Ketika aku minta,
merengek untuk dikasihani, ia selalu menuruti. Ketika aku hampir
lalai dalam mengingat-Nya, ia tak pernah lupa untuk mengingatkanku.
Lewat cobaan-cobaan ringan, atau pun nikmat-nikmat yang Dia
limpahkan. Ketika aku jatuh hati... (ciehhh) ia selalu siap untuk
mendengarkan ratapanku dan selalu bisa menentramkan jiwaku. Hanya
Dia, kawan! Yang Maha Mengerti apa pun yang kita butuhkan. Lebih tahu
daripada kita. Maka percayalah bahwa apapun yang Dia berikan, itu
adalah yang terbaik walaupun menurut kita, itu adalah suatu hal yang
amat kita benci.
Betapa Allah
Menyayangimu
Dia telah
menciptakan-Mu dalam segala urusan-Nya
Sahabatku, kau
adalah makhluk istimewa yang pernah diciptakan-Nya
Betapa Allah
menyayangimu
Tak pernah Allah
meninggalkanmu walau sesaat
Tak pernah kasih
sayang-Nya putus walau sedetik
Sungguh, jika
Allah tak sayang,
Sesaat saja kita
yang terkadang melupakan-Nya
Diri ini sudah
tak bisa bernafas
Jantung kita tak
lagi berdetak
Nadi kita tak
lagi berdenyut
Mata kita tak
lagi berkedip
(Ratna Dewi
Idrus-Betapa Allah Menyayangimu Saudariku)
wah dalem ya kata-katanya..
BalasHapusmakasih udah mengingatkan, ya emang gitu.. keluarga dulu utamain
tapi mau gimana lagi, kebanyakan abege sekarang mentingin pacarnya :p
karena hidup di dunia itu untuk saling mengingatkan kok :)
Hapushaha. abege sekarang? anda turut serta bang? :P
Bener. Nggak ada kasih sayang dari manusia yang melebihi kasih sayang dari keluarga. Sebisa mungkin jangan membuat mereka kecewa *nasehatin diri sendiri*
BalasHapusBtw, ada yang typo tuh, 'menyianyikannya' :)
bener banget *tolong nasehatin aku juga kak*
Hapusoiya. tengkyuu